Barangkali hingga dewasa ini masih banyak orang yang salah mengira Buddhisme sebagai ajaran pesimistik. Mereka menunjuk kesunyataan mulia pertama dari empat yang menjadi salah satu landasan ajaran Buddha, dukkha, sebagai bukti bahwa Buddhisme kental dengan citarasa "sedih-sedihan". Saya ingat ketika membaca sebuah esai, bahkan salah seorang sastrawan modern kita pun sempat beranggapan demikian.
Tentu saja anggapan seperti itu sangat keliru dan mudah dipatahkan. Buddhisme justru adalah sebuah ajaran yang penuh dengan sukacita dan semangat optimistis. Pernyataan bahwa kesunyataan mulia pertama menyebut tentang dukkha adalah sebuah fakta yang realistis tak terbantahkan dan yang makin lama makin menemukan kebenarannya: hidup ini memang tak memuaskan, selalu ada sesuatu yang kurang tak peduli seberapa pun kaya + sukses + "sempurna" hidup kita.
Lagipula, Empat Kesunyataan Mulia yang Buddha ajarkan tak berhenti pada dukkha, melainkan juga menunjukkan sebab dukkha, lenyapnya dukkha, dan yang menohok rasa optimis adalah Buddha mengajarkan jalan untuk lenyapnya dukkha.
Bhutan dan cara hidupnya menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Bhutan dikenal dunia sebagai salah satu negara yang orang-orangnya paling bahagia di dunia. Itu mungkin karena Bhutan tak mengikuti cara biasa dalam mengelola dan mengukur perkembangan negaranya.
Bila di negara-negara lain tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan patokan GNP (Gross National Product/Produk Domestik Bruto) yang sangat materialistik, Bhutan mengukurnya dengan acuan GNH (Gross National Happiness/Kebahagiaan Domestik Bruto) yang meliputi 9 domain: kesejahteraan psikologis, kesehatan, pendidikan, keragaman dan ketahanan budaya, pemanfaatan waktu, pemerintahan yang baik, vitalitas masyarakat, keragaman dan ketahanan ekologis, dan taraf hidup.
Tapi sebuah artikel dari BBC berjudul Bhutan's Dark Secret to Happiness (http://www.bbc.com/travel/story/20150408-bhutans-dark-secret-to-happiness) menunjukkan penjelasan yang mungkin menjadi sebab lebih mendasar mengapa warga Bhutan bahagia: mereka ternyata terbiasa merenungkan kematian 5 kali dalam sehari, dan segala yang menyangkut "ingat mati" mudah ditemukan dalam kehidupan mereka.
Bagi sebagian besar orang di dunia di mana kebudayaan global (baca: Barat) sedang mendominasi, kenyataan ini mungkin akan dianggap sebagai anomali, paradoks, keanehan, atau kata-kata lainnya yang mencerminkan sesuatu yang tak lazim dan membingungkan. Itu karena kematian sering diidentikkan dengan sesuatu yang gelap, yang menimbulkan kesedihan atau depresi, yang mengerikan dan jauh dari citarasa kebahagiaan.
Kematian sering diperlakukan sebagai tabu, disingkirkan dalam setiap percakapan (membicarakan kematian dianggap membawa sial atau merusak suasana) dan juga dari pemandangan (pekuburan sengaja dibikin jauh di tepian kota dan jenazah dirias seakan-akan orang tersebut sedang tertidur, bukan mati). Namun mengapa rahasia kebahagiaan warga Bhutan justru berkaitan dengan kerapnya mereka merenungkan kematian dalam kesehariannya?
Bhutan adalah sebuah negara yang penduduknya mayoritas pengikut ajaran Buddha, khususnya Buddhisme Tibet atau yang dikenal sebagai Vajrayana (salah satu sekte utama dari 3 sekte Buddhisme). Dari sudut pandang Buddhisme, kematian bukanlah sesuatu yang tabu dan harus dijauhi. Kematian adalah sesuatu yang alami, bagian tak terelakkan dari kelahiran (selain juga usia tua dan penyakit). Dalam Buddhisme sendiri merenungkan kematian (maranasati) merupakan salah satu praktik spiritual yang dianjurkan karena bermanfaat untuk mengikis kemelekatan dan ego. Dan semakin banyak kemelekatan atau ego terkikis, semakin besar kebahagiaan yang dirasakan.
Lagipula, dengan kerap merenungkan kematian para Buddhis menjadi semakin terbiasa dengannya, dan ketika kita sudah menjadi terbiasa atau akrab dengan sesuatu, kita tak lagi takut terhadapnya. Lantas, ketika rasa takut atau cemas terhadap kematian --yang merupakan salah satu jenis rasa takut atau cemas terbesar dalam hidup kita-- teratasi, apa lagi yang tersisa selain kebahagiaan?
Ajahn Brahm, seorang bhikkhu terkenal dari Australia, dalam sebuah bukunya pernah bercerita tentang selembar foto guru beliau, Ajahn Chah, di mana di balik foto itu ada sebuah pesan singkat yang berbunyi: "Bahagia mengetahui tak ada kebahagiaan di dunia".