Ketika seminggu yang lalu saya hadir di Wihara Buddha Sakyamuni Denpasar untuk mendengarkan Dhammadesana yang disampaikan oleh dua orang Tipitakadhara dari Myanmar dan satu orang bhikkhu Indonesia yang tinggal di Myanmar, pada bagian dari acara itu Pak Handaka Vijjananda selaku moderator memperkenalkan Nona Nila dari Myanmar. Nona, dalam bahasa Myanmar adalah “Ma”, jadi beliau diperkenalkan sebagai Ma Nilar, dan disebutkan lengkap dengan umur serta statusnya: 34 tahun, masih jomblo.
ads
Dalam masyarakat kita yang masih terkuasai oleh pandangan mayoritas, tentu kenyataan tersebut dengan mudah memunculkan reaksi: wow, kok masih jomblo? Reaksi seperti itulah yang juga muncul di tengah para hadirin, yang langsung ditangkap oleh MoM Handaka dan diluruskan dengan menyatakan bahwa dalam Buddhisme urusan jomblo atau tidak jomblo bukanlah hal penting. Pernikahan adalah sebuah hak, bukan kewajiban.
ads
Kita, Buddhis, punya pandangan yang berbeda mengenai persoalan ini, tetapi sadar atau tidak, kita telah terkuasai oleh kontruksi sosial yang menganggap setiap individu dewasa seharusnyalah telah berkeluarga atau minimal memiliki pasangan calon pendamping hidupnya kelak. Karenanya, dalam jenis masyarakat seperti di negara kita ini, soal jodoh menjadi hal yang krusial. Kalau Anda tidak percaya atau ingin membuktikan, tanyalah para peramal apa pertanyaan wajib yang pasti akan ditanyakan oleh setiap pasiennya?
ads
Sebagai salah satu jomblo, saya paham benar bagaimana anggapan umum masyarakat kita tentang seorang jomblo. Baik sebagai jomblowan maupun jomblowati, selalu ada prasangka yang negatif. Dari mulai anggapan “enggak laku”, “orang aneh”, “homo/lesbi”, sampai “impoten/bermasalah”, yang semua itu barangkali lebih sering dinyatakan secara sembunyi-sembunyi atas nama gosip sas-sus di belakang punggung para jomblowan maupun jomblowati. Cukup jarang yang bertanya: mengapa? Apa motivasi di balik seseorang memilih menjadi jomblo? Mungkin ada yang terpaksa karena memang belum mendapatkan jodoh, mungkin juga ada yang masih ingin sendiri dulu atas nama karier atau pekerjaan atau alasan ekonomi (belum mapan). Tapi yang jelas, dalam kasus saya, saya menjadi jomblo karena saya memang memilih untuk itu, bukan karena tidak laku dan lain-lain. Saya menyadari dan setuju dengan pernyataan dari Ajahn Brahm dalam salah satu kisahnya di buku Membuka Pintu Hati, kisah yang berjudul “Untungnya Saya, Malangnya Mereka”, bahwa setiap bentuk kehidupan memiliki suka-dukanya sendiri. Perumahtangga punya suka-duka sebagai perumahtangga, jomblowan atau jomblowati punya suka-dukanya sebagai kaum jomblo.
ads
Perumahtangga punya kebahagiaan memiliki teman pendamping hidup dan (mungkin) anak-anak yang mengisi kehidupannya. Tetapi di sisi lain perumahtangga harus banyak melakukan pengorbanan, mengalami kecemasan menyangkut diri dan keluarga mereka, dan banyak hal lainnya yang sering muncul dalam setiap rubrik konsultasi rumahtangga. Sebaliknya, di dunia jomblo ada kebebasan, kemandirian, dan waktu luang yang berlimpah untuk dirinya sendiri. Tetapi di sisi lain, sebagai jomblo mungkin ada juga kecemasan menyangkut hari tua, saat-saat mana kita mungkin merasakan kebutuhan yang sangat akan keluarga dekat atau seorang pendamping. Pendek kata, baik perumahtangga atau jomblo, tidaklah menjamin seseorang akan selalu bahagia atau menderita. Karena kebahagiaan maupun penderitaan itu sesungguhnya adalah sebuah pilihan, bergantung pada di mana posisi kita dalam memandang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita.
ads
Sayangnya, sebagian para tua tidak dapat menerima alasan tersebut dan selalu bersikukuh bahwa menjadi seorang perumahtangga lebih membahagiakan ketimbang menjadi jomblowan atau jomblowati. Mereka punya alasan-alasan dan argumen yang terasa naif seperti, “Kalau kamu berumahtangga, punya istri/suami dan lalu ada anak-anak, nanti tuanya ada yang merawat kamu”, atau, “Berumahtangga itu perlu untuk meneruskan keturunan”. Untuk alasan yang pertama, saya sering membantahnya dengan berkata bahwa tidak ada jaminan istri/suami/anak-anak kita bersedia merawat kita ketika kita tua. Buktinya, bukan hal yang jarang kita dengar atau ketahui tentang orang tua yang tak dipedulikan oleh anak-anak atau pasangan hidupnya tatkala mereka berada pada usia senja. Untuk alasan yang kedua, saya akan berkata dengan nada sedikit sarkastik: memangnya kita sejenis sapi yang harus berkembang biak? Toh begitu, setiap kali menghadiri acara keluarga, setiap kali pula saya harus siap-siap mendengar pertanyaan klise: kapan kamu kawin? Udah punya pacar? Kok masih jomblo?
ads
Cape deh!
ads
Rasanya ingin sekali membawa sebuah megaphone dan berteriak-teriak bikin pengumuman: Halo! Halo! Perhatian semuanya! Saya ini jomblo by choice karena saya sadar bahwa jomblo atau tidak jomblo bukan jaminan kebahagiaan. Saya senang jadi jomblo sebab dengan menjadi jomblo saya punya kebebasan dan waktu luang yang banyak untuk kesenangan-kesenangan saya, untuk berlatih di jalan spiritual yang saya pilih.
ads
Tapi tidak!
ads
Itu terlalu norak-norak bergembira. Saya lebih memilih membuat T-shirt sablon digital yang bertulisan:
[caption id="attachment_315541" align="aligncenter" width="300" caption="Anggota Klub JoJoBa"][/caption]
Dan dengan memakai kaos itu saya mantap datang ke sebuah acara keluarga di mana banyak para tua yang berkumpul. Lumayan juga efeknya, setidak-tidaknya mereka mengerti apa pilihan yang telah saya ambil dan tak banyak cingcong lagi.
ads
Saya jadi senang. Masalah dengan para tua tampaknya sudah mereda sebagai dampak kampanye JoJoBa via T-shirt yang saya lakukan. Tapi efek sampingnya juga ada: setiap kali saya memakai kaos itu, salah satu keponakan cowok saya pasti akan tertawa nyengir menunjuk-nunjukkan telunjuknya ke dada saya sambil teriak-teriak: “JOMBLO, JOMBLO, HAHAHA!”
ads
Heran juga saya. Padahal, dia belum bisa baca, lho!
ads
141207
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H