Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... -

Tinggal dan tumbuh besar di Denpasar Bali Hobi membaca, menulis, berinternet, mendengarkan musik dan menonton film Memunyai pekerjaan sambilan sebagai penerjemah buku-buku Buddhisme, terutama terbitan Ehipassiko Foundation seperti Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya (dulunya: Membuka Pintu Hati) karya Ajahn Brahm, Lingkaran Keindahan (PT Elex Media Komputindo) karya Master Cheng Yen dan lain-lain. Karya Tulis: Trio RaTaNa (Karaniya), Senyum, dong! Dunia Belum Kiamat lho, Berbuat Baik Itu Mudah (Ehipassiko Foundation)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menikmati Ketidaksempurnaan

3 November 2011   23:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:05 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam keseharian hidup, hingga dewasa ini, masih sering kita jumpai penilaian yang menganggap sesama kita yang tak memiliki anggota tubuh lengkap atau baik sebagai “orang-orang cacat” atau “orang-orang dengan kondisi fisik yang tak sempurna”. Kekeliruan terbesar dari ungkapan seperti itu, yang barangkali tak pernah disadari, adalah kenyataan bahwa sesungguhnya tak ada manusia yang sempurna.

Apakah memiliki 2 tangan, 2 kaki, dengan jari-jari seluruhnya 20, mata+telinga @2, hidung+mulut @1, dan semua berfungsi dengan baik dapat disebut sempurna? Secara sekilas dan dalam pengertian terbatas, ya! Tapi bila dilihat keseluruhan dan mendalam, tidak! Bahkan yang tercantik atau tertampan pun masih saja mengeluhkan ada bagian-bagian tubuhnya yang menurut mereka tidak memuaskan. Jika semua sungguh sempurna, tak ada orang yang akan mengeluh atau pergi ke dokter bedah plastik. Dan jika tubuh yang mudah terlihat ini saja sudah tidak dapat disebut sungguh sempurna, apalagi batin yang lebih tak terlihat. Hanya mereka yang tercerahkan sempurna memiliki batin tanpa cela.

Seperti kebanyakan manusia awam, saya sendiri memiliki banyak ketidaksempurnaan. Secara fisik seluruh anggota tubuh saya lengkap, tapi secara fungsi beberapa indra tak sebaik yang seharusnya. Mata dan telinga saya hanya berfungsi setengah dari kemampuan kebanyakan orang yang disebut “normal”. Saya harus memakai kacamata dan juga alat bantu dengar (ABD). Selain itu, sistem keseimbangan tubuh saya pun tidak baik, reflek mata dan jelajah pandangnya terbatas sehingga amat berbahaya bagi saya untuk nengendarai mobil atau motor. Itu membuat saya sulit pergi ke mana-mana, terutama di pulau dengan transportasi umum yang “antara ada ada tiada” seperti Bali.

Pada awalnya keterbatasan ini tak jadi soal besar. Tapi lama-lama, ketika mulai beranjak dewasa, ketergantungan kepada orang lain dalam hal mobilitas sempat membuat saya berkecil hati. Saya juga sempat mengalami ejekan dan menjadi bahan tertawaan di sekolah karena sering tulalit jika diajak bicara atau dipanggil guru untuk maju ke depan, atau ketika absensi (karena waktu itu belum memakai ABD. ABD masih amat jarang dan mahal, tidak seperti sekarang yang mudah dibeli dan lebih terjangkau).

Dengan berlalunya waktu dan bertambahnya wawasan, juga karena pelatihan yang menumbuhkan sikap lebih bisa melepas, kini saya tak lagi memandang segala keterbatasan itu sebagai sesuatu yang memalukan, mengecilkan hati. dan alasan untuk terus bermelodrama dengan lakon “Malangnya Aku, Oh Malangnya Aku”. Alih-alih saya mulai bisa menerima keadaan itu dengan ringan hati. Kepada beberapa kawan dan kerabat, saya sering bercanda, “Mataku memang setengah buta, tapi paling tidak masih bisalah buat membedakan duit 100rb dari 10rb, dan gadis cantik dengan yang biasa.” :-). Lebih daripada itu, saya juga menyadari keterbatasan itu justru kadang memberikan beberapa keuntungan bagi saya.

Sebagai contoh, karena ketidakmampuan saya dalam hal mobilitas, ke mana pun pergi saya selalu memiliki seorang sopir atau “tukang ojek” pribadi J Saya tidak pernah perlu berlelah-lelah ria selama perjalanan. Saya cukup duduk manis di jok penumpang atau di samping “pak kusir yang sedang mengendarai kereta”, santai menikmati pemandangan atau suasana kota.

Lebih mengasyikkan adalah soal telinga saya yang oleh seorang teman sekolah dulu pernah disebut sebagai “antena yang kurang tinggi” (maklum, anak jurusan teknik elektronika di STM, sekarang SMK). Ketika saya memerlukan suasana sunyi karena lelah dengan bisingya dunia perkotaan modern atau karena ingi bermeditasi, saya tidak perlu bersusah-payah mencari tempat hening di pelosok hutan rimba sana. Saya cukup masuk ke kamar saya, menutup pintu, membuka alat bantu dengar (ABD) dan..bim sala bim…ajaib, dunia langsung menjadi hening. Tak ada lagi suara-suara keponakan yang menjerit-jerit atau tertawa, suara galak dari sinetron jelek di tivi, atau musik berisik dari hape entah siapa.

Asyik, kan?

Chuang 060811

http://ceritachuang.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun