Sejak kira-kira dua tahun yang lalu, ada sebuah fenomena menarik tetapi yang cukup memprihatinkan dan sempat mengundang perhatian dari banyak kalangan di Bali. Fenomena tersebut menyangkut peningkatan kasus bunuh diri yang terjadi di pulau para dewa, tempat di mana saya lahir dan besar.
Hampir setiap hari ada saja berita mengenai seseorang yang menggantung dirinya, atau meminum cairan pembasmi serangga, karena pelbagai macam sebab: patah hati, penyakit yang tak kunjung sembuh, rasa tersinggung, kemiskinan, rasa malu...
Ada banyak pendapat yang dilontarkan oleh para ahli, pendapat-pendapat yang ilmiah dan masuk akal dan juga pendapat-pendapat yang bersifat niskala (dunia gaib) yang berada di luar pengalaman panca indra kita yang terbatas inii, Bahwa masyarakat Bali semakin tercerabut dari akar budayanya, kehidupan modern memberi tekanan yang luar biasa bagi manusia-manusia Bali, dan bahwa para pelaku bunuh diri tersebut dipengaruhi oleh makhluk-makhluk halus yang marah karena tanah atau wilayah mereka banyak diusik dan dihancurkan demi membangun hotel atau vila.
Tetapi yang jelas, merenungkan peristitwa-peristiwa tersebut, saya teringat pada sebuah kisah dari Ajahn Brahm yang beliau wariskan dari gurunya, Ajahn Chah. Kisah ini adalah cerita tentang segelas air.
Ajahn Brahm menjulurkan tangannya, mengangkat sebuah gelas berisi air, dan bertanya kepada para pemirsanya tentang seberapa beratkah gelas tersebut? Sebelum ada yang sempat menjawab, beliau melanjutkan dengan menyatakan bahwa, bila beliau memegang gelas itu dengan tangan terjulur selama 5 menit, maka gelas itu akan mulai terasa berat. Bila beliau terus memegangnya seperti itu selama 20 menit, maka tangan beliau akan mulai terasa sakit. Dan bila beliau terus memegangnya selama lebih dari sejam, maka tangan beliau akan terasa sangat sakit, dan beliau akan menjadi orang dungu.
Lalu apa yang harus beliau lakukan ketika gelas itu menjadi terasa menyakitkan dan tak tertahankan lagi? Seseorang menjawab, letakkan gelas itu. Itu jawaban yang paling masuk akal dan baik. Dan itu adalah hal yang sama yang seharusnya ktia lakukan berkenaan dengan beban-beban dalam kehidupan kita. Bukan berat gelas itu sendiri yang menjadi penyebab, tetapi karena kita terlalu lama mengangkatnya.
Tatkala beban-beban dalam kehidupan menjadi semakin tak tertahankan lagi, hal itu bukanlah karena beratnya beban tersebut tetapi karena kita terlalu lama memikulnya. Maka, letakkanlah beban-beban tersebutbarang sejenak. Beristirahatlah dan pulihkan energi mental kita. Lalu ketika kita telah merasa segar kembali, kita akan mampu memikul beban-beban itu lagi dengan lebih efisien sampai pada suatu titik tatkala beban-beban tersebut harus diletakkan kembali.
Para pelaku bunuh diri tersebut adalah orang-orang yang terlalu lama mengangkat gelas air mereka, dan tidak tahu bagaimana membiarkan berlalu barang sejenak beban-beban mereka,untuk memulihkan energi mereka, memintal asa dan menumbuhkan pohon keberanian untuk menghadapi kehidupan. Mereka juga adalah orang-orang yang tidak sepenuhnya menyadari bahwa untuk terlahir menjadi manusia adalah sebuah kesempatan yang amat sangat sangat langka dan bernilai sehingga dengan begitu saja memutuskan kehidupan mereka yang sangat berharga. Seperti yang Buddha tunjujkkan kepada kita melalui perumpamaan tentang seekor penyu buta dan sebuah gelang-gelang.
Inilah kesempatan terbaik kita, inilah alam yang paling ideal untuk berlatih dan mempraktikkan Dhamma, untuk meraih pencerahan sejati seperti yang Buddha telah raih.
Hargailah!
Letakkan gelas airmu!
Chuang 020507
(Sumber: Buku “Senyum, dong! Dunia Belum Kiamat lho”, Ehipassiko Foundation, www.ehipassiko.net)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H