"Ini udah minggu ke-3 gue lembur, dan weekend pun gue tetap kerja. Sampai gak inget hari dan jam lagi. Pokoknya gue harus stand by terus sampai jam 3 pagi di depan laptop." - Karunia, Channel DevelopmentÂ
"Bahkan masih jam 7 pagi udah ditelepon oleh atasan. Karena sesungguhnya WFHÂ itu adalah Working Full Hour." - Irma, Purchasing StaffÂ
"Aku WFH dari bulan April sampai Desember, tapi semua jatah cuti langsung dianggap hangus. Katanya, itu semua sudah kebijakan dari perusahaan." - Gary, Accounting OfficerÂ
"Gue mending WFO daripada WFH. Kalau WFO, minimal jam 6 udah bisa pulang. Â Kalau WFH, kadang jam 9 malam masih urus data. Karena buat gue, WFH adalah toxic sesungguhnya di lingkungan kerja" - Kendar, Assistant ManagerÂ
"Lagi BAB, salat, dan makan siang tetap dituntut online di depan laptop. Harus fast respond maksimal 5 menit. Gak bisa meninggalkan meeting karena meeting dari jam 8 pagi dan lanjut terus sampai jam 6 atau 7 malam. Jangankan makan, kadang mandi pun juga gak sempat. Mereka pikir saya gak punya kehidupan pribadi, ya?" - Eca, Research AssistantÂ
...dan masih banyak keluhan serta pandangan dari mereka yang merasakan lelahnya WFH, yang tidak sempat saya tuliskan satu per satu.
Tidak ingin menyalahkan apapun dan siapapun, karena diterapkannya WFH adalah anjuran yang sangat tepat demi membantu pemerintah mengurangi jumlah pasien yang terinfeksi virus corona di Indonesia.Â
Namun tentang penerapan WFH itu sendiri, alangkah baiknya bila ada saling pengertian antara sesama rekan kerja, juga fasilitas yang memadai dari perusahaan itu sendiri.Â
Karena bekerja dari rumah bukan berarti kami sebagai karyawan merasa senang berlebih dengan dalih bisa bersantai. Percayalah, kami berusaha semaksimal mungkin bekerja dari rumah dengan keterbasan yang ada, dengan segala urusan pribadi yang kami kesampingkan demi terus bekerja untuk perusahaan.Â
Akhir kata, untuk segala sesuatu yang menjadi hak karyawan, sebaiknya jangan pernah dirampas.Â
Jakarta, 2020.
Christie Stephanie Kalangie.