Siang itu, saat saya sedang dalam perjalanan menuju ke kampus menggunakan TransJakarta, saya bertemu dengan seorang tukang pijat keliling di Halte Busway Bundaran Senayan.
Seorang pria lansia yang memegang tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan, pakaiannya lusuh berwarna biru kehitaman dengan sebuah gantungan yang berisi identitasnya sebagai tukang pijat keliling, lengkap dengan nomor telepon dan kalimat "bayar sukarela" yang juga tercantum bersama.
Kalimat "bayar sukarela" itu sangat menggugah hati saya. Bagaimana mungkin seorang pria lansia berkeliling Jakarta dengan keadaan seperti ini? Dimana keluarganya? Apa setelah perjumpaan kita hari ini ia masih punya cukup pegangan uang untuk perjalanan selanjutnya atau untuk kehidupannya sehari-hari?
Di waktu yang singkat sambil menunggu TransJakarta menuju Blok M, saya pun mendekati dan mengajak bapak tukang pijat keliling tersebut untuk bercengkerama.
Namanya Pak Bintoro. Matanya yang sayu menunjukkan betapa lelahnya ia berjalan luntang-lantung setiap hari.
Ternyata, Pak Bintoro tak punya tempat tinggal yang tetap lagi di Jakarta. Istri dan anak-anaknya meninggalkannya sekitar kurang lebih 10 tahun yang lalu. Karena tak punya rumah dan harta apapun, ia memilih tidur di pinggir halte setiap malamnya. Dan baginya, ia harus tetap melanjutkan hidup dengan mengandalkan satu-satunya keahlian yang ia miliki, yaitu pijat-memijat.
Walaupun pijat-memijat adalah keahlian yang ia andalkan dalam mencari nafkah untuk dirinya, tak jarang ia harus menelan pil pahit akibat sepinya panggilan dari pelanggan. Bahkan, ada beberapa orang yang begitu tega dengan tidak membayar jasanya setelah dipijat.
Di akhir percakapan singkat kami, saya mencoba memberikan sedikit uang tunai yang saya miliki, namun ternyata ia menolak uang pemberian saya. Dengan sedikit terbata-bata Pak Bintoro berkata, "Neng kan gak saya pijat. Saya harus kerja dulu, baru terima uang dari hasil keringat saya. Neng pakai saja uangnya untuk beli buku. Semangat belajarnya, Neng."
Ah, saya menangis. Bukan karena berusaha berbuat baik namun ditolak, tapi karena pendirian Pak Bintoro yang tidak ingin menerima uang jika tidak bekerja dari hasil keringatnya sendiri.
Hari itu saya merasa bahwa sepertinya Tuhan sedang menegur saya sebagai anak muda yang suka mengeluh. Mengeluh tentang lelahnya pekerjaan kantor misalnya, atau tugas kuliah yang menumpuk, atau lain sebagainya yang sering saya keluhkan hampir setiap harinya.
Di depan mata saya jelas terlihat seorang pria lansia yang tetap berjuang dan tak kenal lelah, bahkan jarak yang jauh pun tak ia pedulikan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perbincangan yang singkat harus berakhir karena kami berbeda tujuan, sampai akhirnya saya dan Pak Bintoro harus berpisah.
Sungguh prihatin mendengar cerita Pak Bintoro. Pertemuan pada hari itu juga membuka mata saya. Lagi, saya harus bersyukur dengan keadaan sungguh-sangat-baik-sekali yang masih saya rasakan hingga saat ini.
Saya pun berharap, suatu saat nanti dapat bertemu lagi dengan Pak Bintoro, dan beliau tetap dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindungan-Nya.
Semoga kisah mengenai perjumpaan saya dengan bapak tukang pijat keliling ini dapat menjadi perenungan bagi kita semua mengenai pentingnya berbagi kasih dengan sesama manusia, dan terutama perenungan dalam hal bersyukur.
Jakarta, 2019.
Christie Stephanie Kalangie
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI