Mohon tunggu...
Christie Stephanie Kalangie
Christie Stephanie Kalangie Mohon Tunggu... Akuntan - Through write, I speak.

Berdarah Manado-Ambon, Lahir di Kota Makassar, Merantau ke Pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sayang, Jangan Biarkan Hubungan Kita Seperti Layangan Putus

5 November 2019   08:50 Diperbarui: 6 November 2019   09:30 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : detik.net (Foto Ilustrasi Layangan Putus)

Kisah mengenai Layangan Putus sontak menjadi buah bibir di kalangan netizen. Kisah tersebut menceritakan tentang seorang istri yang bercerai dengan suaminya, lantaran suaminya berselingkuh. 

Tak berhenti sampai di situ. Setelah bercerai, ia pun harus membesarkan keempat orang anaknya, tanpa dukungan finansial dari sang mantan suami. 

Kisah ini pertama kali diunggah pada akun Facebook milik Mommy ASF. Ia menyebutkan bahwa mantan suaminya adalah orang yang dikenal cukup religius, bahkan memiliki channel YouTube dakwah. Belakangan, sang suami diketahui menikah dengan seorang selebgram yang kini telah hijrah. 

Begitu pilu kisah perjalanan rumah tangganya sehingga ia mengibaratkan dirinya bak layangan putus yang tak tentu arah. 

Tadinya, saya tidak ingin ikut terlibat dalam gaduhnya kisah ini. Tapi lama kelamaan, terusik juga jiwa kepenulisan saya. Sehingga saya tidak akan panjang lebar lagi untuk membagikan beberapa hikmah yang saya dapat dari kisah ini. 

Yang pertama dan yang menjadi penyebab utama dari kasus ini adalah, dibolehkannya poligami. Salah satu wujud sistem sosial patriarki, dimana dominasi laki-laki memegang kendali. Inilah akar permasalahan dari kisah Layangan Putus. Poligami, apakah adil? 

Saya memang belum terikat status pernikahan dengan siapa pun. Tapi yang saya yakini adalah, bahwa pernikahan merupakan hal yang suci sehingga pernikahan bukan hal yang bisa dipermainkan. 

Pernikahan seharusnya menjadikan kedua insan saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, saling mengasihi dan menghargai hingga maut memisahkan. 

Garis bawahi kedua insan, bukan ketiga insan, keempat, kelima dan seterusnya. Artinya, tidak akan ada seorang pun yang dapat memutuskan atau bahkan menggandakan tali pernikahan tersebut, kecuali maut yang memisahkan. 

Yang kedua adalah, pentingnya menjaga kesetiaan dan keharmonisan dalam suatu hubungan. Kesetiaan dapat menentukan apakah suatu hubungan dapat berlangsung lama atau tidak. Baik hubungan bisnis, pekerjaan, rumah tangga, pertemanan dan lain sebagainya. 

Usaha apapun perlu dilakukan untuk menjaga kesetiaan, dan tidak akan terasa berat bagi orang-orang yang memang tulus dan memiliki tekad tinggi dalam menjaga hubungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun