Perubahan ini bisa dikatakan secara drastis mengubah pola hidup dan pola pemikiran masyarakat khususnya masyarakat di pedesaan dengan segala gambaran yang menjadi ciri khas mereka.
Dahulu dalam tradisi masyarakat Sulawesi Selatan, sebuah kampung yang disebut Wanua itu dipimpin oleh seorang yang disebut dengan lompo atau matowa (Kepala Kampung) yang mempunyai pembantu yang disebut "Sariang" atau "Parennung" yaitu jabatan tradisional yang mengemban tugas menjadi corong informasi bagi masyarakat.
Tugas dari seorang Sariang ialah berkeliling kampung, untuk menyampaikan pengumuman dan pemberitahuan kepada masyarakat, tentu saja saat itu dengan berjalan kaki. Pengumuman atau pemberitahuan yang disampaikan itu bermacam-macam.
Baik itu yang terkait dengan misi pemerintahan seperti program pembangunan, ajakan kerja bakti, undangan musyawarah kampung (Tudang sipulung (Bugis) / Empo Sipitangarri (Makassar)) hingga pengumuman awal puasa dan bahkan ajakan menonton pertunjukan hiburan yang akan dilaksanakan di kampung tersebut.
Sariang atau Parennung dalam melaksanakan perintah menyampaikan pengumuman itu berjalan kaki berkeliling kampung dengan mengandalkan kekuatan suara terkadang ada yang menggunakan corong yang terbuat dari bahan plat seng atau aluminium yang digulung lancip berbentuk corong.
Pengumuman yang disampaikan tentu saja dalam bahasa daerah, yang tersusun rapi dan memenuhi etika bahasa sehingga terdengar indah dan menarik perhatian.
Contoh kalimat pengumuman di maksud seperti berikut ini:
"Tabe idi' maneng sellengnge, nasserrini' pada moto' cinampe manre denniyari.
Pada engkaki manniya' mappuasa baja" (1)
Artinya: Permisi wahai penduduk muslim, diingatkan untuk bangun nanti (subuh) untuk makan sahur. Persiapkan diri kita dengan niat untuk berpuasa besok.
Tentang urusan pajak misalnya, contoh kalimat pengumumannta yang sering diucapkan oleh Sariang atau Parennung, seperti :
"Eeee, idi'maneng pabbanuwae !
Kuappalettukengngi makkedae, narapi'si wettutta pada makkamaja' rente...!" (2)