Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kabar jika seorang kerabat di kampung istri sedang terbaring sakit di rumahnya. Saya pun bertanya kok tidak dibawa ke rumah sakit, dan jawaban yang saya peroleh justru sangat menyesakkan hati.
Jawabannya adalah sudah dibawa ke puskesmas dan harus dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut atau yang dalam hal ini adalah rumah sakit rujukan di ibukota kabupaten. Namun, yang menjadi masalah menurut petugas di puskesmas adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang bersangkutan "mati" alias telah dinonaktifkan.
Ini artinya bahwa kerabat saya yang sakit ini, jika masuk ke rumah sakit harus dengan status pasien umum yang biaya pengobatannya harus ditanggung secara pribadi. Oke, jika kerabat saya ini orang yang tergolong mampu, tentu tidak ada masalah.
Tetapi, beliau ini selain secara ekonomi tergolong kurang mampu mengingat usia beliau sudah di atas 60 tahun, pekerjaan buruh tani, makanya beliau termasuk ke dalam kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan yakni peserta yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan.
Nah, ketika tiba-tiba kartu kepesertaan BPJSnya dinyatakan nonaktif saat beliau butuh pelayanan medis, yang kita tahu mahalnya minta ampun. Bisa dibayangkan betapa terpukulnya beliau, kenyataan yang dihadapinya alih-alih mendapatkan pengobatan pada sakitnya yang ada justru beban pikiran yang menambah parah sakitnya.
Biaya rumah sakit untuk perawatan kelas tiga pun cukup mahal untuk ukuran orang kebanyakan, mulai dari biaya rawat inap yang kisaran 300 ribuan per harinya, biaya visitasi dokter, biaya obat-obatannya, biaya penunjang seperti patologi klinis, patologi anatomi dll, belum lagi kalau harus mendapatkan penanganan khusus seperti operasi, ICU, isolasi dll tentu biayanya akan semakin besar.
Orang miskin memang dilarang sakit, bahkan yang sudah jelas-jelas punya kartu jaminan kesehatan pun ternyata bisa kecewa karena kartu KIS-nya dinyatakan nonaktif. Yang jadi persoalan disini, siapapun (instansi) yang melakukan penonaktifan kartu KIS ini, sebegitu mudahnya kah menonaktifkan kepesertaan seseorang yang notabene 'wajib' dibantu?
Tidak berpikirkah kalian (orang-orang yang berpendidikan, pelayan masyarakat, dan tentunya harus punya moral) berapa besar biaya pelayanan 'kesehatan' yang harus ditanggung oleh orang tidak mampu. Yang ditanggung BPJS pun kadang ada yang mengalami diskriminasi dan masih harus mengeluarkan biaya, bagaimana lagi dengan mereka yang nyata harus ditanggung tapi dinonaktifkan kartunya.
Berdasarkan informasi hasil jelajah internet, bahwa penonaktifan kartu kepesertaan JKN KIS tersebut diakibatkan oleh karena peserta atau pemegang kartu KIS tidak menggunakan atau memakai kartunya untuk berobat/periksa kesehatan di faskes tempatnya terdaftar.
Akan tetapi, ada pula bantahan terhadap hal tersebut, sebagaimana yang dilansir dari Kompas.com. Namun, dalam kenyataannya sepertinya penonaktifan KIS adalah seperti yang disebutkan pertama, yakni karena tidak dipergunakan lebih dari enam bulan seperti yang terjadi pada kerabat saya, tetapi sepertinya ini dilakukan bukan oleh BPJS tetapi oleh Dinas Sosial.Â