Pelaksanaan Pilpres tinggal menghitung hari, para kontestan dan timnya semakin giat bekerja untuk menaikkan elektabilitas mereka. Meski demikian, hampir sebagian besar rakyat (pemilih) tentu telah punya pandangan terhadap para pasangan calon.
Hari ini (21/1-2024) adalah jadwal debat Cawapres yang kedua sekaligus yang terakhir, walaupun menurut hemat saya bahwa untuk saat ini dimana hampir sebagian besar pemilih telah punya pilihan di tangan mereka, debat yang akan berlangsung tidak lagi bisa mengubah pilihan sebagian besar pemilih.
Meski demikian, walaupun tidak bisa memberi pengaruh yang signifikan terhadap perubahan pilihan, debat Cawapres ini tetap saja menarik untuk ditunggu terutama oleh mereka-mereka yang peduli dan konsen terhadap isu-isu yang terkait dengan tema debat yang kali ini mengusung tema : "Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, serta Masyarakat Adat."
Satu isu penting yang sekaligus terkait dengan hampir semua poin dalam tema debat kali ini adalah persoalan tambang, dimana hilirisasi sektor pertambangan masih menyisakan persoalan-persoalan yang perlu diselesaikan secara win-win solutions.
Secara investasi sektor pertambangan telah menyerap begitu banyak modal asing yang masuk, untuk tahun 2023 saja realisasi investasi yang masuk mencapai 7,46 Milliar USD, atau sekitar 98% dari target investasi yang dicanangkan pemerintah. Banyaknya investasi yang masuk berkelindan dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap.
Hal positif tersebut di atas patut disyukuri, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada ekses yang juga perlu mendapat perhatian serius terhadap persoalan yang ditimbulkan oleh "booming" industri pertambangan mineral terutama yang terjadi di pulau-pulau kecil.
Eksploitasi tambang yang marak di Sulawesi bukan hanya mendatangkan modal, menyerap tenaga kerja, dan menggairahkan ekonomi lokal. Seiring dengan "keuntungan" yang ditawarkan industri tambang, persoalan lingkungan hidup, agraria, energi dan masyarakat adat ikut terusik dan banyak menciptakan konflik di wilayah masyarakat lokal yang penyelesaiannya selalu berpihak kepada atas nama investasi.
Sebagai contoh izin penambangan telah merambah hingga ke pulau-pulau kecil yang berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) pasal 23 adalah wilayah yang diprioritaskan kepada kegiatan : konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; pertanian organik; peternakan; pertahanan dan keamanan negara.
Dan dipertegas lagi pada pasal 35 huruf k bahwa : Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Kegiatan eksploitasi sumber daya alam (mineral) di pulau-pulau kecil telah lama disuarakan oleh masyarakat yang terdampak dan juga aktifis lingkungan seperti LSM Jaringan Anti Tambang (JATAM).
Saat ini bahkan sedang bergulir judicial riview di MK terhadap UU PWP3K yang dilakukan oleh sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Wawonii, salah satu pulau yang juga merupakan kabupaten yang bernama Kabupaten Konawe Kepulauan di Sulawesi Tenggara. Dan perkembangan judicial riview di MK sepertinya keberpihakan pemerintah dan DPR ada pada pemohon.
Ekspose tambang lebih banyak pada investasinya, industrinya dan nilai ekonominya. Namun, dampak lingkungan yang ditimbulkan jauh dari pengetahuan banyak orang yang berada di luar sana, wilayah tangkap nelayan yang semakin jauh karena pencemaran laut, banjir, dan pertanian yang gagal.Â
Bahkan kekayaan hayati menjadi terancam, salah satu contohnya adalah keberadaan Anoa, hewan endemik Sulawesi Tenggara yang sudah sangat terancam kepunahan, sebagai hewan soliter yang senang menyendiri, Anoa kini sudah sering ditemukan di dekat pemukiman penambang, ini berarti habitat mereka telah menyempit.
Ini yang harus menjadi perhatian dalam hilirisasi pertambangan, bahwa industri pertambangan harus dari hulu. Tetapi sebagaimana yang terjadi sebagian besar penambangan itu dilakukan oleh kontraktor pertambangan yang miliki IUP dan bahkan tanpa IUP. Apa yang terjadi dengan kondisi ini? Bahwa rehabilitasi lahan pasca penambangan minim bahkan tidak ada sama sekali, dimana yang seharusnya ditambang adalah lapisan tanah bawah yang mengandung material mineral, sementara top soil yang merupakan tanah subur yang produktif harusnya dikembalikan setidaknya seperti semula, tetapi yang terjadi tidak seperti itu.
Konflik lahan (agraria) menjadi sangat krusial di daerah, Â bisa dibayangkan menurut pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 La Ode Muhammad Syarif menyebutkan bahwa luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Sulawesi Tenggara melebihi jumlah luas daratan provinsi, ini bukan saja sebagai indikasi dugaan korupsi tetapi juga terjadinta konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan.
Para pengusaha di sektor pertambangan ini begitu kuat dan amat sulit tersentuh, entah dengan kekuatan apa mereka bisa eksis, apakah karena kekuatan uang, kekuatan bekingan atau apalagi yang lainnya.
Pembangunan berkelanjutan bukan hanya di sektor tambang tentunya, tetapi kehadiran industri pertambangan di daerah telah mengalihkan orientasi masyarakat terhadap penghidupannya, pemuda-pemuda daerah lebih tergiur menjadi pekerja di pertambangan yang mereka pandang "elit" dibanding dengan menjadi petani, pekebun atau nelayan melanjutkan pekerjaan orangtua yang sebagian besar bertani, berkebun dan melaut sebagai nelayan.
Kita tentu ingin melihat pemimpin yang mampu memberi pencerahan dan solusi untuk menjawab kekhawatiran-kekhawatiran serta persoalan-persoalan yang melingkupi industri pertambangan yang masih pada tahap mengutamakan investasi.
Bagaimana industri pertambangan bisa berjalan seiring dengan potensi "emas hijau" (sektor pertanian), petani berdaya, nelayan berdaya, masyarakat adat tetap mendapat tempat untuk terus melaksanakan kearifan lokal mereka.
Semoga semua kandidat mempunyai pandangan dan gagasan yang dapat mengakomodir keresahan-keresahan terkait pengelolaan izin pertambangan yang harus jujur kita akui masih dipandang belum merangkul semua kepentingan secara komprehensif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H