In my humble opinion, bahwa kejahatan kemanusian terberat bagi peradaban manusia modern saat ini salah satunya adalah pembungkaman terhadap media, serangan mematikan kepada pekerja media adalah bentuk pemadaman kebenaran yang nyata.
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), serangan militer Israel di Gaza telah menjadi "bulan yang paling mematikan bagi jurnalis, sejak statistik dimulai lebih dari tiga dekade lalu, dan menciptakan pemadaman berita di wilayah yang diperangi".
Serangan militer Israel terhadap Gaza merupakan rentetan teror horor dengan begitu banyak kekejaman yang terjadi di dalamnya. Kekejaman aksi Israel Occupation Forces atau Israel Offensive Forces tersebut digambarkan oleh PBB sebagai " kuburan ribuan anak ", bukan itu saja dengan lebih dari separuh bangunan di bagian utara Gaza telah hancur atau rusak, dimana hampir sebahagian besar penduduk yang mengalami trauma kehilangan akses terhadap air bersih, makanan, layanan kesehatan dll. Gaza adalah gambaran kengerian bukan saja bagi anak-anak, wanita dan orangtua tetapi juga bagi para jurnalis, baik itu jurnalis Palestina sendiri maupun para jurnalis asing.
Serangan yang menjurus pada "penyerangan massal" terhadap jurnalis adalah salah satu kekejaman nyata yang terjadi. Menurut data dari Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), konflik Gaza pasca serangan Hamas pada 7 - Oktober lalu, merupakan  konflik yang paling mematikan bagi para awak media yang pernah tercatat. Setidaknya ada 57 orang pekerja media yang telah gugur, terdiri dari 50 orang jurnalis Palestina dan tujuh jurnalis asing termasuk empat orang jurnalis asal Israel sendiri, sementara itu 100 jurnalis lainnya terluka, semuanya terjadi hanya dalam rentang waktu tujuh minggu. Sebagai perbandingan, menurut data dari Federasi Jurnalis Internasional, dalam skala global sepanjang tahun 2022 tercatat ada total 68 orang pekerja media yang terbunuh.
Sangat mudah untuk kita simpulkan bahwa serangan horor yang disebarkan oleh Israel di Gaza berusaha ditutupi oleh Netanyahu dan salah satu caranya adalah dengan melakukan pembungkaman terhadap media secara terang-terangan di Gaza. Para pengungkap kebenaran tentang apa yang terjadi disana harus disingkirkan, dan satu demi satu, mereka dijadikan target untuk dibungkam. Para jurnalis harus mempertaruhkan nyawa mereka untuk menjadi saksi bagi dunia.
Serangan tanpa belas kasih kemanusiaan yang dilakukan Israel telah menelan begitu banyak korban dan diantara para korbannya adalah warga sipil. Lebih dari 100 pekerja bantuan PBB telah tewas dalam konflik tersebut, ini merupakan jumlah korban tertinggi dalam satu konflik sepanjang sejarah PBB, dan perkiraan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa serangan Israel yang membabi buta dan tidak pandang bulu telah menyebabkan lebih dari 20.000 warga Gaza tewas akibat serangan udara yang menghantam bertubi-tubi.
Sementara itu klaim Israel menyebutkan mereka hanya membunuh antara 1.000 hingga 2.000 pejuang Hamas. Tanpa ada jurnalis yang meliput langsung dari wilayah konflik, tidak akan ada organisasi media yang mempunyai catatan untuk memberitakan bencana yang terjadi disana secara aktual dan akurat.
Pada 18 - November lalu, Jurnalis Sari Mansour yang juga Direktur Quds News Network, dan Hassouneh Salim yang bekerja sebagai fotografer lepas, gugur bersama akibat aksi  serangan udara (pemboman) yang dilakukan oleh IOF di kamp Bureij di Gaza tengah. Gugurnya jurnalis Sari Mansour dan Hassouneh Salim membuat Unesco melalui pernyataan Direktur Jendral Unesco, Audrey Azoulay yang menyesalkan kematian kedua jurnalis tersebut, menurutnya  perlindungan terhadap jurnalis sebagai warga sipil merupakan persyaratan berdasarkan hukum internasional, termasuk Resolusi Dewan Keamanan PBB 2222/2015 tentang perlindungan jurnalis, profesional media, dan personel terkait dalam situasi konflik. Audrey menyerukan penyelidikan independen dan transparan untuk mengetahui penyebab tragedi tersebut.
Namun, kecaman dunia internasional terhadap aksi Israel yang menyasar  para jurnalis, sama sekali tidak digubris. Sebelumnya tiga pekan lalu, Mohamed Abu Hassira seorang reporter kantor berita WAFA tewas bersama dengan 42 orang anggota keluarganya dalam sebuah serangan udara yang menargetkan rumah Abu Hassira.
Lalu, pada tanggal 23 November, Mohamed Mouin Ayyash seorang jurnalis dan fotografer lepas tewas bersama dengan 20 anggota keluarganya, ketika serangan udara Israel menyasar rumahnya. Nasib yang sama menimpa jurnalis perempuan Alaa Taher Al-Hassanat, yang dibunuh bersama keluarganya, seminggu yang lalu.
Berkaca ke belakang, sebelum serangan besar-besaran terhadap jurnalis yang terjadi saat ini, serangan militer Israel telah menewaskan 20 jurnalis dalam kurun waktu hampir 22 tahun, yang mana para pelakunya tidak pernah diadili untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Salah satu contoh yang paling menghebohkan adalah terbunuhnya Shireen Abu Akleh seorang jurnalis perempuan berkebangsaan Palestina-Amerika yang bekerja untuk kantor berita Al Jazeera yang merupakan jurnalis ternama di Timur Tengah. Ia sering meliput pemberitaan pendudukan wilayah Palestina oleh Israel dan menganalisis politik Israel.
Pada 11 Mei 2022, Shireen terbunuh karena tembakan di kepala oleh pasukan militer Israel di kamp pengungsian di Jenin, Tepi Barat. Al Jazeera dan Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan bahwa militer Israel (IDF) adalah pihak yang bertanggungjawab atas insiden tersebut. Namun, pihak Israel menolak klaim tersebut dan bahkan menyatakan bahwa kemungkinan pelakunya adalah orang Palestina. Hal ini tidak mengherankan mengingat pola kebohongan yang sudah sering dan lama mereka lakukan. Investigasi selanjutnya oleh Arsitektur Forensik dan Al-Haq menemukan bahwa pembunuhan Shireen Abu Akleh adalah disengaja.
Apa yang terjadi di Gaza harusnya bukan yang berasal dari klaim satu pihak. Kebenaran di sana adalah milik kemanusian, kebenaran di Gaza adalah milik dunia, dimana mata serta telinga kemanusiaan itu ada pada jurnalis yang seharusnya mendapatkan akses yang lebih luas ke Gaza dan kesempatan untuk lebih menjelaskan wajah Gaza yang sesungguhnya dan mengubah opini publik baik yang pro maupun yang kontra tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap krisis berlarut-larut yang terjadi disana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H