"Assalamualaikum, Opa. Saya minta maaf kalau saya tidak bisa bertahan sampai di sini. Ternyata saya tidak sekuat itu untuk bertahan lebih lama. Saya sudah terlalu capek Opa, sudah banyak sekali sakit yang saya rasakan. Jujur saja Opa, saya capekmi tangisi hidup yang begini"
Untaian kalimat di atas bukanlah cuplikan dari sebuah cerita fiksi, kata-kata ini adalah ungkapan kegundah-gulanaan seorang gadis belia yang kecewa, yang telah kalah lantaran hidup yang ia rasakan tidak berpihak kepada dirinya.
Gadis belia ini berinisial RR, pelajar sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di kota Kendari yang masih berusia 15 tahun, ia ditemukan jatuh di jalan depan tempat dia kos, dalam keadaan pingsan ia segera dilarikan ke rumah sakit dan meninggal dunia setelah dua hari dalam perawatan.
Ternyata RR sebelumnya telah menenggak cairan racun rumput untuk memilih jalan pintas mengakhiri hidupnya, dan sebelum ia melakukan semua itu ia mengirimkan pesan melalui WA kepada ayahnya yang ia panggil dengan sebutan Opa ( O pa ini logat atau dialek lokal yang berarti papa/bapak).
Pesan yang RR kirimkan untuk ayahnya cukup panjang, yang secara keseluruhan menggambarkan ketidaksanggupannya menghadapi tekanan dan persoalan kehidupan yang menderanya, ada rasa penyesalan belum bisa membahagiakan keluarga terlebih kepada sang ayah, dan ada rasa yang teramat sakit yang ia rasakan dari perlakuan Ibunya terhadapnya.
Sebaiknya saya tidak usah menuliskan pesan utuh yang dituliskan mendiang RR kepada ayahnya, sebagai orangtua yang memiliki putri saya kok terikut pingin mewek membaca curhatan hati seorang gadis belia yang belum banyak mengenal dunia, tapi dipaksa atau memaksa diri untuk menghadapi kerasnya dunia dengan pikirannya yang masih polos.
Sedikit saya kutip lanjutan keluh kesah RR:
"Saya sayang kita, Opa. Saya sayang juga I Ariel, I Iyeng, I Mama. Tapi, I Mama jahat sekali sama Saya sering sekali mi saya makan hati karena bicaranya yang sakit sekali saya dengar, saya tertekan juga tinggal sama, I Mama yang setiap hari marah-marahi saya. Biar bukan salahku tetap saya dimarahi. Dan yang paling sakit, Opa, kalau saya dibeda-bedakan sama I Ariel".
Tampaknya, anak ini sayang kepada keluarganya, meski ia lebih dekat kepada ayahnya ketimbang ke ibunya, yang ia sebut sebagai Ibu yang jahat dalam pesannya. Lantaran menurutnya ia setiap hari mendapatkan penyiksaan verbal dari sang Ibu, dan banyak lagi perlakuan dari sang Ibu yang menyakitkan hatinya.
Mencoba menganalisa persoalan yang dihadapi oleh RR, tetapi saya bukan ahli kejiwaan, saya hanya seorang ayah yang berusaha memberi yang terbaik bagi keluarga saya, terutama bagi anak-anak saya yang belum matang secara mental dan psikologis untuk menghadapi dunia.
Saya tak bisa menganalisa kejiwaan si RR ini, namun dari membaca pesannya yang tersebar luas di jagat maya khususnya di kota Kendari, saya bisa menilai bahwasanya RR ini tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis, dimana RR ini tinggal bersama Ibunya dan seorang adiknya di sebuah rumah kost, sementara ayahnya tinggal di kampung.
Sepertinya keluarga RR ini adalah tipikal keluarga awam yang apa adanya, jauh dari tipikal keluarga modern yang peduli pada tumbuh kembang anak baik fisik maupun mentalnya, keluarga yang jauh dari pengetahuan bagaimana membangun komunikasi yang baik dan efektif dengan anak.
Terus terang hal seperti ini banyak terjadi di keluarga Indonesia, kehidupan dunia yang semakin keras dan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, kondisi seperti ini tentu bisa membuat orangtua kacau, stress dll yang berimbas kepada anak-anak yang belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarganya.
Anak-anak yang polos dengan jiwa rapuh apalagi ditambah dengan cara pandangnya yang keliru dalam melihat realitas dunia, pada akhirnya akan membuat apa dan bagaimana seharusnya hubungan kasih sayang antara anak dan orangtua disalah tafsirkan oleh anak-anak.
Sudah menjadi fenomena bahwa kasih sayang orangtua itu diterjemahkan oleh anak-anak dengan mendapatkan semua apa yang mereka inginkan baik itu berupa benda ataupun perlakuan. Kita mungkin pernah mendengar kejadian bagaimana seorang remaja yang memilih mengakhiri hidupnya karena keinginannya tidak dipenuhi oleh orangtuanya, ada yang karena tak diberikan Handphone, ada yang tak diberi sepeda motor dll. Atau kejadian anak yang tega membunuh/menganiaya orangtuanya karena keinginannya tidak dituruti.
Ini mungkin adalah gejala umum yang melanda remaja jaman sekarang, generasi milenial yang tumbuh di keluarga yang masih berpikiran di belakang. Persoalan terbesarnya bukan pada anaknya, segala bentuk kerapuhan jiwa yang dialami oleh anak tidak terlepas dari kekurang mengertian lingkungan si anak terutama dari orangtuanya.
Bagaimana menyikapi fenomena ini, saya sendiri juga kurang mengerti. Kalau misalnya mengatasi penyakit menular, kan dengan vaksinasi atau imunisasi. Atau pencegahan dan penanganan stunting, dengan memantau tumbuh kembang anak, memperhatikan asupan protein nabati maupun hewani, serta perilaku hidup bersih dan sehat.
Tetapi untuk masalah kejiwaan anak, ini yang rada-rada sulit, terkadang gejalanya tidak terlihat sama sekali, sehingga teramat sulit untuk terdeteksi apalagi oleh keluarga awam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H