Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Sistem Pemilu yang Masih Berorientasi Kepentingan Partai, Kapan Bisa untuk Kepentingan Bangsa?

16 Oktober 2023   00:00 Diperbarui: 16 Oktober 2023   07:27 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang saja pertanyaan berdasarkan apa saya memilih partai dalam Pemilu membuat saya bingung. Namun, yang jelas karena rekam jejak beberapa partai, saya tidak akan memilihnya sekalipun misalnya saudara atau sahabat saya menjadi calegnya.

Sejauh yang saya rasakan sampai sekarang ini, setelah melalui beberapa kali Pemilu mulai dari jaman orde baru hingga orde reformasi sekarang ini, sistem demokrasi yang ada belum membawa kita kepada Pemilu yang ideal.

Meski aturan Pemilu terus berusaha disempurnakan, tetapi sepertinya kondisi ideal untuk kepentingan bangsa dan negara masih dikalahkan oleh kepentingan politik partai-partai yang ada. Banyaknya partai politik yang menjadi kontestan dalam Pemilu semakin menambah "carut marutnya" dunia politik negeri ini.

Pelajaran politik yang dapat saya ambil dari pengalaman melalui beberapa kali Pemilu sejak Pemilu 1977, bukannya membawa saya kepada pilihan yang pasti, namun justru membuat saya menjadi bingung sendiri dengan dunia politik kita ini.

Pengalaman pertama mengenal Pemilu di tahun 1977, saat itu belum sebagai pemilih. Waktu itu kebetulan bapak saya menjadi camat di sebuah kabupaten di daerah saya, gaung Pemilu saat itu begitu semarak. 

Lagu "pemilihan umum telah memanggil kita, pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya, hak demokrasi Pancasila, di bawah undang-undang Dasar empat lima" menjadi sangat akrab di telinga.

Meski saat itu media informasi hanya radio dan itupun di tempat saya kala itu melalu radio transistor yang berdaya baterai, karena listrik belum masuk, tetapi lagu hymne Pemilu saban hari terdengar berulang kali yang menjadikan hampir semua orang hapal.

Dan bagi saya yang masih anak-anak, Pemilu itu adalah sesuatu yang membahagiakan. Apalagi sebagai anak camat saya senang karena waktu itu bapak dapat mobil dinas, sebagian dari kita masih ingat mobil VW safari warna oranye dengan atap kanvas, bagi anak-anak seperti saya kala itu belum mengerti mobil dinas atau apa, yang jelas saya merasa senang karena bapak punya mibil, dimana mobil saat itu hanya segelintir saja orang yang punya.

Meski kala itu masih kecil, tapi yang bisa saya tangkap dari pesta demokrasi saat itu adalah Golkar, yah keseharian saya yang merupakan anak camat tentu yang saya dengar hanyalah tentang Golkar dan Golkar saja, ini setidaknya membuat saya pernah menjadi anak Golkar, bukan hanya karena bapak saya camat, tetapi karena keluarga besar saya adalah militer dan ibu juga seorang pegawai negeri, tentu orang akan paham.

Pemilu berikutnya di tahun 1982, saya juga belum mempunyai hak pilih, masih usia SMP yang saat itu kelas 3. Meski begitu sudah mulai agak paham-paham sedikit tentang politik. Saat itu bapak sudah tidak menjadi camat lagi, pengalaman dan pelajaran paling menarik di Pemilu tahun itu adalah saat penghitungan suara di TPS.

Kebetulan saya tinggal di kompleks perumahan pegawai negeri. Nah, saat penghitungan suara Pemilu saat itu, saya dan teman-teman turut menyaksikan, lucunya ada beberapa surat suara yang jelas-jelas tercoblos PPP tapi disebut dan dihitung sebagai Golkar, dan kalau PDI disebutkan batal, tetapi saat itu tidak ada satupun yang protes, semua berjalan dengan lancar dengan hasil akhir Golkar menang hampir seratus persen, dan PPP dan PDI Nil persen.

Nah, sebagai anak-anak saya kan heran, setelah pemungutan suara yang prosesnya begitu cepat selesai jika dibandingkan dengan Pemilu sekarang ini, saya kemudian bertanya kepada "Om" petugas tadi, kenapa PPP disebut Golkar dan suara PDI dibilang batal?. Dengan santai dan sambil tersenyum si Om menjawab, kalau ada suara PPP atau PDI, bapak-bapak dan ibu-ibu kita yang pegawai ini akan repot.

Dari situ saya paham rupanya mereka berbuat curang bukan karena perintah langsung untuk berbuat curang, tetapi sebuah terjemahan dari "perintah memilih Golkar" Kalau misalnya ada satu saja suara selain Golkar, maka imbasnya semua pegawai yang memilih di TPS tersebut akan dicurigai sebagai "penghianat" dan itu tentu merepotkan dan menyusahkan mereka semua.

Pemilu berikutnya di tahun 1987, saya sudah mempunyai hak pilih, tetapi terus terang saya tidak menggunakan hak pilih saya. Saat itu saya sudah kuliah di Kota Malang, meski terlahir dari latar belakang keluarga besar yang 100 persen Golkar, pikiran kritis anak muda sudah merasuki jiwa, dan pilihan paling logis saat itu bagi saya adalah abstain.

Nah, berlanjut ke Pemilu-pemilu selanjutnya di masa order baru saya selalu memilih abstain. Sepanjang yang saya pahami, tiga partai peserta pemilu saat itu dengan sistem yang ada belum ada partai yang sesuai dengan aspirasi yang ingin saya salurkan. Terus terang sebagai orang yang terlahir dari keluarga besar Golkar, pilihan saya seharusnya Golkar, dari keluarga besar saya, saya paham kredibilitas mereka, semangat membangun memang untuk negeri dan bangsa, jalannya pemerintahan dan pembangunan saya akui cukup stabil, tetapi pengalaman dominasi Golkar yang sangat dipaksakan membuat saya mengambil jarak dari memilihnya, akan tetapi juga tak memiliki keinginan mendekati kontestan lainnya.

Dari pengalaman Pemilu di masa orde baru, kesakralan Pemilu menjadi senjata penguasa saat itu untuk mempertahankan supremasi kekuasaannya, yang paling krusial saat itu adalah di fase minggu tenang, orang-orang dilarang berkumpul lebih dari lima orang, saking sakralnya minggu tenang itu, jika disaat minggu tenang itu anda terlibat kasus hukum, anda akan ditahan tanpa proses hukum sampai saat minggu tenang berakhir.

Ketika reformasi bergulir, Pemilu 1999 belum membuat saya move on untuk menggunakan hak pilih, satu-satunya alasan saya abstain adalah melihat bagaimana para elit-elit politik penggagas reformasi menjatuhkan Habibie dengan menolak laporan pertanggungjawaban beliau, dimana saya melihat penolakan tersebut diambil bukan karena Habibie melakukan kesalahan tetapi diambil karena Habibie ingin digulingkan.

Pengalaman mengikuti Pemilu secara aktif baru saya mulai di Pemilu 2004, terus terang saya memilih saat itu karena melihat calon legislatifnya bukan partainya, meski saat itu masih sistem proporsional tertutup tetapi calon-calon legislatifnya sedikit lebih terbuka. 

Reformasi membawa perubahan besar pada sistem demokrasi kita, akan tetapi ternyata belum bisa menjawab kebutuhan demokrasi ideal yang negeri ini butuhkan, banyaknya partai peserta Pemilu menurut saya justru membawa kita pada demokrasi primitif, kepentingan politik bangsa kini bukan lagi berdasarkan kebutuhan bangsa akan tetapi menjadi ambisi politik dan kekuasaan pemilik modal dan jaringan bisnis. 

Sistem proporsional terbuka "mungkin" dipandang cukup ideal, akan tetapi dibalik itu sistem ini menyimpan duri dalam demokrasi kita. Betapa tidak, partai politik berebut menjaring calon legislatif yang potensial dalam arti kata punya modal politik (dana, popularitas dan basis massa) sementara itu modal integritas menjadi prioritas paling buncit apalagi jika sang calon minim modal politik di atas. 

Sistem Pemilu kita bukan hanya diperparah oleh ambisi kekuasaan partai, tetapi juga oleh regulator dan pelaksana Pemilu yang sepertinya bisa disetir oleh kepentingan kelompok dan golongan tertentu, bisa kita bayangkan disaat proses Pemilu sementara berjalan pun, gugatan terhadap aturan kepemiluan masih ada yang dilayangkan dan diproses. 

Demi ambisi, semua bisa dipoles, dikarbit dan dipaksakan dan disebut dengan atas nama demokrasi. Yang jadi jualan politik saat ini bukanlah visi misi partai, akan tetapi janji manis calon ketika terpilih akan memberi ini dan itu bla bla bla, dan maaf yang sudah masif adalah money politic yang sebenarnya nyata didepan mata tapi semua pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu. 

Sepanjang yang saya tahu, begitu banyak orang-orang yang pilihannya lucu, kenapa lucu? Iya karena pilihan calon DPR pusatnya dari partai A, DPR Propinsi dari partai B, DPR kabupaten/kotanya dari partai C tergantung dari janji apa yang mereka dapatkan dari sang caleg atau tim sukses caleg yang menemui mereka. 

Sistem pemilihan seperti ini sebenarnya merugikan masyarakat, kenapa? Yah, kebanyakan caleg untuk meraih suara mereka bukan membawa visi misi partai tetapi kebanyakan menjual janji pribadi kepada konstituennya. Nah, ketika masyarakat memilih sang caleg namun caleg tersebut gagal meraih suara terbanyak di partainya, maka janji "pribadi" yang jadi jualan para caleg itu hanya akan menjadi janji dan tinggal janji dan tak mungkin dieksekusi oleh caleg lain yang terpilih. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun