Kasus korupsi yang melibatkan pembesar negeri kembali lagi terjadi. Satu lagi menteri yang masih menjabat di kabinet ditetapkan menjadi tersangka oleh kejaksaan agung. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate resmi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan BTS 46 Bakti Kominfo dan infrastruktur pendukungnya pada paket 1,2,3,4,5 tahun 2020-2022.
Proyek BTS Bakti, atau proyek base transceiver station (BTS) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (Bakti) ini meliputi pembangunan 7.904 tower di daerah yang masuk kategori terdepan, terluar, dan tertinggal atau yang biasa disingkat dengan daerah 3T.
Rancangan proyek BTS 4G Bakti Kominfo ini masuk pada tahun anggaran 2020-2022. Mega proyek dengan nilai mencapai Rp 28,3 triliun ini dalam perencanaannya akan dikerjakan dalam dua tahap. Masing-masing, tahap pertama tahun 2021 akan dikerjakan  sebanyak 4.200 site dan tahap kedua tahun 2022 sebanyak 3.704 site.
Namun, pada kenyataannya, hingga tahun 2022 berakhir realisasi pengerjaan proyek tersebut masih jauh dari target yang direncanakan. Berdasarkan catatan yang ada, realisasi pelaksanaan proyek hanya 57 persen dari target pengerjaan tahap 1 atau sebanyak 2406 site saja yang siap dioperasikan. Itupun sebagian dari pemancar yang siap dioperasikan tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.
Berdasarkan audit yang dilakukan BPKP bahwa korupsi proyek BTS Kominfo ini menyebabkan kerugian negara yang mencapai 8 triliun rupiah. Ini sungguh sebuah korupsi yang 'gila!", dan tentu tidak mungkin jika hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, ini tentu hanya bisa dilakukan secara berjamaah.
Jika melihat dari nilai kerugian yang mencapai 8 triliun, kasus korupsi ini tidak lagi bisa dipahami bahwa terjadi karena ada kesempatan, tetapi ini harus dilihat sebagai korupsi yang memang telah direncanakan sejak awal.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perjalanan sebuah proyek itu tidak tiba-tiba saja muncul, tetapi ada proses yang mendahuluinya. Proses awal sebuah proyek itu mulai dari tahap rancangan kegiatan yang harus punya cantolan dengan rencana strategis (Renstra), dari rancangan ini dibuatlah rencana kerja (Renja).
Rencana kerja ini merupakan sebuah dokumen yang "setengah matang" belum mencakup aspek teknis kegiatannya, tetapi lebih merupakan patokan kebutuhan anggaran yang direncanakan. Dalam tahap ini potensi terjadinya penyimpangan sudah bisa terjadi, bahkan bisa menjadi lebih mudah dan mungkin juga lebih aman.
Begitu juga dalam hal proyek BTS Kominfo ini, penentuan jumlah site yang akan dibangun, dimana akan dibangun, dan bagaimana bangunannya, itu semua butuh data yang harus akurat. Dan disini potensi korupsi itu sudah bisa dimulai dengan memasukkan data yang direkayasa. Pihak kejaksaan yang menangani kasus ini tentu akan memulai dari mencari dokumen terkait hal ini.
Bahwa rencana kerja dari lembaga, kementerian dan instansi, termasuk Kementerian Kominfo itu harus melalui proses terlebih dahulu sebelum akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Semua proses itu berlangsung di lembaga legislatif alias DPR, mulai pembahasan pendahuluan antara komisi-komisi di DPR dengan mitranya (kementrian/lembaga), setelah tahap pendahuluan selesai berlanjut ke tahap pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN).
Dari proses ini, kita bisa melihat bahwa setiap rencana kerja kementerian/lembaga dapurnya dibahas di DPR. Dalam hal kasus mega korupsi di Kementerian Kominfo ini yang proyeknya terbilang "gemuk" dengan nilai lebih dari 28 triliun rupiah. Maaf dalam kondisi indeks persepsi korupsi di Indonesia yang masih tergolong buruk, adalah wajar jika ada kecurigaan terhadap keterlibatan oknum di DPR dalam pusaran rasuah di Kementerian Kominfo ini.
Pusaran besar mega korupsi proyek BTS 4G Bakti, tentu tidak saja melibatkan dan "dinikmati" oleh mereka yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan (pengguna - penyedia), uang 8 triliun itu bukan uang kecil, dan tidak mungkin hanya dinikmati oleh para tersangka yang telah ditetapkan oleh kejaksaan, tentu ada keterlibatan dari pihak lain dan juga penikmat lain dari uang rakyat yang ditilep tersebut.
Jika melihat dari nilai kerugian negara yang nilainya cukup fantastik, proses korupsi di Kementeruan Kominfo ini telah dimulai dari tahap rancangan penganggaran, penetapan jumlah site, letak site serta hal pendukung lainnya dan juga penentuan harga owner estimation yang dimark-up, artinya korupsi ini sudah diniatkan dari awal, proses selanjutnya seperti pembahasan anggaran di DPR, kemudian proses pemilihan rekanan (Lelang pengadaan barang dan jasa) baik itu rekanan konsultan perencana, konsultan pengawas dan pelaksana semuanya dikondisikan dengan kebutuhan.
Alat bukti yang oleh pihak kejaksaan dianggap mungkin sudah cukup, namun yang menjadi pertanyaan apakah tersangkanya (dalam hal ini yang terlibat, yang menikmati, dan yang bekerjasama) telah teridentifikasi semua?. Dan bagaimana mengembalikan kerugian negara yang jumlahnya sangat fantastik itu, apakah bisa?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H