Dear kampung halaman, maafkan aku jika telah hampir melupakanmu. Perjalanan masa telah mengikis kerinduan ini keping demi keping, hanya menyisakan identitas yang hampir kabur bahwa di bumimulah tempat aku dilahirkan.
Dear kampung halaman, maafkan aku yang bagimu telah hampir menjadi anak hilang, sebagaimana engkaupun bagiku telah menjadi seperti anak kunci yang hilang dari gemboknya yang terkunci.
Dear kampung halaman, engkau telah tumbuh bersama masa, memoles wajahmu dengan gempita kekinian, mengikuti laju masa yang terus tumbuh. Tapi tahukah engkau wahai kampung halaman, yang kukenang darimu, yang kusuka darimu, dan yang kuingat dari dirimu adalah kesahajaanmu.
Rumah-rumah panggung yang dulu tegak berbaris dari selatan ke utara, dari timur ke barat meski bersahaja namun membuatku kagum, membuatku bangga atas identitas kearifan lokal tanah moyangku.Kini terhimpit oleh rumah-rumah tembok dengan desain kekinian.
Aku bukan hanya kehilangan rumah-rumah panggung itu, tetapi aku juga kehilangan kerabat yang dulu selalu membukakan pintu rumahnya untuk kusinggahi walau hanya untuk sekedar duduk sejenak.
Dear kampung halaman, mungkin aku yang telah lama pergi, hingga aku merasa asing saat berdiri menatap langit mu. Engkau telah tumbuh menjadi gadis yang beranjak genit, engkau bukan lagi bayi mungil yang hanya mengenal susu ibu.
Sungguh aku ini lelaki uzur, Â yang lebih teduh bermain bersama cucu yang baru belajar merangkak, ketimbang bermain bersama dengan gadis yang sedang belajar genit. Jangan engkau tertawa wahai kampung halamanku, bagi kami yang telah uzur ini, antusiasme kami hanya pada masa lalu dan bukan masa depan.
Dear kampung halaman, darimu aku banyak kehilangan hal-hal yang sederhana. Mulai dari penjual kue Apang yang selalu singgah ke rumah menawarkan jualannya sebelum pergi menuju ke pasar. Aku juga kehilangan kabut pagi yang dulu selalu menyelimutimu di awal hari.
Dear kampung halaman, janganlah kecewa karenaku, karena sungguh akupun tak kecewa karenamu. Roda masa memang pasti menggilas kehidupan, tapi ia tidak akan mungkin bisa menghapus fakta dimana kampung halamanku, ia tak akan pernah bisa memadamkan cintaku pada kampung tempat darahku pertama menetes, tempat nafasku pertama kuhirup dan kuhembuskan.
Dear kampung halaman, izinkanlah aku menyimpan semua kenangan yang dulu tentangmu. Tolonglah sisakan meski sedikit darimu, sesuatu yang akan mengingatkanku pada Sinjaiku yang kucintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H