Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kenangan Masa Kecil yang Selalu Ingin Membawaku Pulang ke Kampung

25 April 2023   21:14 Diperbarui: 25 April 2023   21:20 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gema takbir berkumandang dari Mesjid di dekat tempat saya tinggal, hari raya telah tiba. Seketika ada kenangan yang menyeruak, ada sedih, ada rindu dan segala macam rasa tertumpah membuka kenangan tentang cerita kampung halaman yang kini telah menjadi masa lalu, telah menjadi kampung yang kehilangan halamannya.

Setelah sekian tahun selalu berhari raya di kampung istri, tahun ini coba berhari raya di kampung halaman sendiri. Namun, sepeninggal kedua orangtua, juga saudara dan saudari ibu dan bapak, serta banyak sudah kerabat dekat yang telah berpulang, menjadikan nostalgia kampung halaman telah kehilangan jiwanya.

Di antara gema suara takbir dan riuh rendah suara bocah yang bergembira sambil bermain bakar petasan, tetiba di hadapan saya seperti terhampar layar film yang menceritakan keceriaan masa kecil di saat-saat lebaran di kampung halaman puluhan tahun yang lampau. Cerita kampung halaman di masa kanak-kanak, ibarat dunia hiburan yang tak pernah sepi, selalu ada canda, selalu ada keseruan dan selalu kerinduan. 

Di penghujung Ramadhan ini, saya mencoba menyelusuri kembali kenangan masa silam, saat-saat akhir Ramadhan ketika menunggu lebaran di kampung halaman. Kenangan demi kenangan terlintas dengan begitu nyata, menceritakan bagaimana kegembiraan di masa kanak-kanak yang hanya bisa menjadi kenangan di sisa-sisa usia di masa tua ini.

Masih seperti baru saja terjadi, masih lekat dalam ingatan long time memory, bagaimana senangnya kami saudara sepupu ketika berkumpul sambil bercerita tentang baju baru yang kami punya. Yah, bagi kami anak-anak akan merasa lebaran tidaklah sempurna tanpa adanya baju lebaran. Saya masih selalu ingat setiap menjelang lebaran, sebelum pulang ke kampung ibu selalu mengajak kami bersaudara ke pasar sentral untuk membeli baju dan celana lebaran.

Di kampung saat sore hari, pada saat berkumpul dengan teman-teman, cerita serunya hanyalah cerita tentang baju baru. Tidak jarang ada teman yang memiliki baju yang sama, bukan cuma satu atau dua orang tetapi kadang ada yang bertiga kebetulan memiliki baju yang sama. Tapi bagi kami anak-anak semua itu no problem, cuek saja bahkan kami senang dengan baju yang sama itu.

Keseruan menyambut lebaran di kampung halaman yang juga tak terlupakan, adalah ketika puas bermain dan kembali ke rumah nenek, kami disambut dengan aroma masakan yang merupakan perpaduan antara bau santan kelapa dan daun pandan yaitu ketupat, yah ketupat kami di kampung bungkusnya itu memakai anyaman daun pandan, bukan daun kelapa.

Hampir setiap rumah di kampung yang kebetulan hampir semuanya adalah rumah panggung, di malam takbiran itu memasak burasa (seperti lontong tapi berbentuk persegi panjang dan pipih, dimasak seikat yang seikatnya berisi tiga burasa), ada juga lappa-lappa yang terbuat dari ketan hitam dan santan bentuknya bulat panjang seperti lontong tapi dibungkus pakai daun kelapa, serta yang pasti selalu ada adalah ketupat daun pandan.

Semua masakan itu dimasak dengan uring atau belanga atau dandang besar di bawah kolong rumah, mulai dari malam dan biasanya matang hingga menjelang subuh, saat sudah agak besar sedikit, saya kadang ikut menemani keluarga menunggu masakan matang, dan ini menjadi keseruan tersendiri yang selalu terbayang-bayang hingga kini.

Dahulu, selepas isya orang-orang termasuk kami anak-anak berkumpul di Mesjid. Setelah itu kami takbiran mengelilingi kampung. Dengan membawa tetabuhan sambil mengumandangkan kalimat takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallahu Wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamdu. Malam itu benar-benar penuh khidmat. Suara takbir terus berkumandang hingga selesai mengelilingi kampung, para ibu dan anak-anak kecil biasanya menunggu di depan rumah saat kami lewat.

Setelah pulang dari takbiran, kami semua segera disuruh masuk ke kamar tidur. Teman-teman anak tetangga yang lain pun sama juga tak ada lagi yang berkeliaran, kami segera terlelap membawa keinginan ke dalam mimpi bangun pagi, dan berangkat ke lapangan untuk shalat Ied dengan baju baru yang sudah sejak dibeli sangat ingin kami kenakan.

Nah, saat pulang dari shalat, keluarga semua berkumpul sambil menikmati hidangan yang sejak kemarin malam hanya sampai menyentuh hidung dengan aromanya, kini saatnya untuk menyentuh lidah dan kerongkongan serta mengisi perut hingga kekenyangan. Masakan yang begitu nikmat dan lezat yang sepertinya tidak ada yang menyamainya. Yah, masakan nenek, masakan kampung yang selalu terkenang, juga kebersamaan keluarga yang kini sudah tidak seperti dulu lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun