Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, bulan dengan segala kemuliaan di dalamnya. Sejatinya umat muslim wajib menantikannya dan menyambutnya dengan kegembiraan, telah datang bulan yang di dalamnya ada rahmat, maghfirah dan pengampunan.
Bulan Ramadhan dengan kewajiban berpuasa serta amalan-amalan lainnya yang dilipatgandakan pahalanya secara lahiriah memang adalah ibadah individual, namun keberkahannya tidak saja dinikmati oleh pribadi yang melaksanakannya akan tetapi keberkahannya seyogianya menjadi rahmatan lil alamin.
Yah, jika umat muslim berpuasa dengan iman dan bersungguh-sungguh mengharap ridho illahi agar menjadi insan takwa, maka hasil akhir dari puasa yang dilakukan adalah rahmatan bagi diri sendiri, keluarga, orang lain dan lingkungan sekitar kita, bahkan lebih jauh lagi bagi seluruh kehidupan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 183 yang artinya:
" Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"
Dari sini kita bisa paham bahwa landasan puasa itu adalah iman, karena yang diseru adalah "wahai orang-orang yang beriman" dan bagi mereka yang beriman ini bukan hanya diwajibkan berpuasa saja tetapi ditambahkan agar menjadi orang yang bertakwa.
Bagaimanakah orang yang bertakwa itu?. Takwa sendiri itu dapat didefinisikan dengan mengerjakan apa yang diperintah oleh Allah SWT dengan penuh keikhlasan dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT dengan sepenuh hati, sehingga dengan demikian orang yang bertakwa itu adalah orang yang benar-benar baik. Baik di sisi Allah SWT dan baik pula di mata sesama manusia.
Segala perintah Allah itu pastilah kebaikan dan menghasilkan kebaikan pula, dan segala larangan Allah adalah sesuatu yang buruk dan menghasilkan sesuatu yang buruk pula. Jika seseorang hanya melakukan kebaikan saja dan terjaga dari segala keburukan, maka orang tersebut adalah rahmatan bagi orang-orang dan juga rahmatan bagi mahluk dan alam sekitarnya.
Nah, disini coba sejenak kita mengintrospeksi, apakah kita telah melaksanakan puasa serta mengisi kemuliaan Ramadhan dengan sungguh-sungguh untuk menuju predikat "tattaqun" alias orang yang bertakwa. Betapa banyak orang-orang yang hanya mendapatkan dahaga dan lapar semata dari puasanya. Dan betapa banyak orang-orang yang memandang Ramadhan hanyalah sebagai rutinitas tahunan semata.
Segala bentuk ibadah kualitasnya itu ditentukan oleh diri sendiri, sebagaimana ibadah di bulan Ramadhan bagaimana kualitas puasa, kualitas tadarus Al-Qur'an, kualitas qiyamullail, kualitas sedekah dan kualitas ibadah-ibadah di bulan Ramadhan lainnya bergantung pada individu yang menjalankannya.
Sedikit bercerita tentang kebiasaan sewaktu masih berstatus mahasiswa di perantauan dalam mengisi Ramadhan, kami teman-teman rantau memandang bulan Ramadhan memang sebagai rutinitas tahunan dengan segala pernak-perniknya, terus terang betapa sedikit bahkan mungkin tidak ada hikmah yang tersisa dari kemuliaan Ramadhan yang sudah dianugerahkan setelah keluar dari bulan Ramadhan.
Kami puasa, tapi tidurnya setelah sahur dan bangunnya menjelang berbuka, karena itu selain tidak merasakan lapar dan haus juga dapat menghindari dari bujukan syaitan dalam wujud teman yang mengajak untuk tidak berpuasa. Shalat tarawihnya mengikuti musim, semakin dekat Idul Fitri semakin kosong shaf, tadarusan Al Qur'an?, sepertinya kami lebih banyak pegang kartu atau gitar daripada Qur'an, sedekah? sesekali itupun banyakan receh yang dimasukkan ke kotak amal masjid.
Kami berpuasa tidak lebih dari hanya sekedar menggugurkan kewajiban, kami beribadah mungkin hanya untuk dilihat bahwa kami beribadah, kami begitu minimnya memanfaatkan kesempatan untuk menambah ilmu, menambah amal ibadah untuk memperbaiki diri. Beruntung yang maha kuasa masih memberi kesempatan untuk bisa sedikit menyadari kekhilafan kami dulu.
Apakah kualitas Ramadhan seperti yang kami jalani dulu semasa kuliah, cuma kami saja yang melakukannya?. Bisa iya, bisa juga tidak, mungkin banyak juga yang seperti kami.
Inti dari menjadi "tattaqun" sesungguhnya bukan di bulan Ramadhan-nya, tetapi bagaimana setelah Ramadhan, sebelas bulan berikutnya apakah takwa itu masih melekat atau datang dan pergi atau mungkin sudah tak bersisa sama sekali dan hanya berharap untuk kembali bertemu dalam rutinitas tahunan yang akan datang.
Jangan sampai, kegembiraan Ramadhan hanya menjadi milik para bocah yang gembira dengan banyaknya hidangan enak dan juga karena telah mendapatkan baju baru untuk lebaran, atau mungkin Ramadhan menjadi bulan kesedihan bagi bocah yang bernasib tak seperti bocah diatas.
Jangan sampai, kegembiraan Ramadhan hanya menjadi milik para pedagang yang panen keuntungan karena menaikkan harga barang. Dan sebaliknya menjadi bulan kesedihan bagi orang-orang yang berpenghasilan terbatas.
Bulan Ramadhan telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada hamba-nya, dengan segala keberkahan dan kemuliaannya di dalamnya ada kawah candradimuka untuk menuju ke predikat "tattaqun", maukah dan mampukah kita meraih itu? Mau dan mampukah kita menjemput hikmah Ramadhan dan menyimpannya dalam-dalam di hati kita?
Ketika kita semua bersama keluar dari Ramadhan dengan ketakwaan yang tertanam dalam di hati, percayalah dengan segala rahmatnya kedamaian akan meliputi alam semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H