Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Utang Anies, di Pusaran Politik Biaya Tinggi

14 Februari 2023   00:33 Diperbarui: 14 Februari 2023   00:47 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alinea.id/Dwi Setiawan

Belakangan ini beredar sebuah Isu hangat terkait utang Rp 50 M, mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kepada Sandiaga Uno.  

Isu ini ramai diperbincangkan, tentu saja ada yang kontra dengan berbagai macam tanggapan dan opininya, ada juga yang pro Anies dengan berbagai macam argumen dan opininya.

Isu ini juga sudah ditanggapi langsung oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam isu utang piutang ini. Dalam hal ini Anies Baswedan telah cukup gamblang memberi klarifikasi, demikian juga pihak Sandiaga Uno telah mengikhlaskan dan menganggap urusan utang piutang ini telah selesai.

Namun, karena isu ini menyangkut nama Anies Baswedan tentu saja akan menjadi komoditas politik yang seksi, isu menjadi berkembang liar sehingga dianggap sebagai sebuah upaya untuk menjatuhkan dan menjegal Anies Baswedan.

Terlepas dari semua pro dan kontra terkait utang piutang Anies dan Sandiaga. Dalam konteks ini saya justru melihat betapa konyolnya permainan politik negeri ini.

Kalau mau jujur, subtansi yang seharusnya menjadi perdebatan terkait persoalan utang Anies ini adalah politik biaya tinggi yang mewarnai proses kontestasi pemilihan kepala daerah, baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi dan bahkan juga negara.

Apa yang terungkap ke permukaan dari persoalan utang piutang Anies yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan logistik dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta adalah betapa mahalnya ongkos politik itu.

Sangat jelas yang bisa jadi Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden bukan hanya orang kaya tapi orang yang harus sangat kaya. Atau setidaknya punya orang yang sangat kaya untuk memberi utangan dana politik.

Jika misalnya calon atau kontestan yang ikut pemilihan hanya punya kemampuan finansial, tetapi tidak memiliki integritas yang baik ini tentu akan mengarah pada lahirnya oligarki dan menjadi gerbang masuknya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Mengutip dari kompas, KPK pernah melakukan survei, bahwa kepala daerah tingkat dua itu paling tidak harus menyediakan dana Rp 20-30 miliar. Gubernur di atas Rp 100 miliar. Pengakuan Sandiaga Uno ia menghabiskan Rp 300 milliar saat Pilgub DKI.

Menurut hemat saya biaya yang disebut di atas itu adalah biaya saat telah berkontestasi. Padahal seseorang yang akan maju dalam kontestasi politik di tingkat manapun sudah harus melakukan persiapan jauh sebelum dia menjadi calon, dua atau tiga tahun sebelum proses kontestasi secara resmi dimulai.

Yang pertama seseorang yang akan maju sebagai bakal calon harus punya nilai jual, dalam hal ini popularitas dan yang terpenting elektabilitas yang tinggi. Untuk mencapai semua ini tentu butuh proses yang intens dari si calon dan itu tentu butuh finansial yang tidak sedikit.

Yang kedua, tentu saja kendaraan politik yakni partai pengusung. Partai pengusung tentu tidak mau mengusung calon yang diistilahkan "mobil mogok". Dan sudah lumrah kita tahu bahwa tidak ada pintu yang gratis kecuali mungkin si calon itu adalah orang partai tersebut, itupun yang memiliki kedudukan penting hingga mahar politik bisa dikesampingkan.

Berbicara proses pemilihan yang jujur saja, itu ongkosnya sudah sangat mahal. Biaya logistik, biaya operasional, biaya konsultan politik dan segala macam pernak-pernik sosialisasi.

Bagaimana pula jika dihitung cost untuk money politic, bagi-bagi amplop, sembako, kaos, sarung dll, bahkan ada yang bagi sapi. Dan ini rasanya dilakukan oleh hampir semua kandidat.

Pengalaman saya hari ini, kebetulan saya mewakili instansi saya untuk hadir mengikuti Musrenbang di tingkat Kecamatan. Dari proses diskusi usulan prioritas ada satu kelurahan yang memang kondisinya sudah sangat parah dan butuh penanganan cepat.

Nah, salah satu peserta Musrenbang yang hadir adalah anggota DPRD yang kebetulan punya niat untuk maju dalam kontestasi Pilwali 2024 nanti, ini terlihat dari banyaknya baliho beliau yang tersebar di seantero kota. Dalam kesempatan diskusi tersebut beliau langsung memanfaatkan momen, menyumbang Rp 20 juta dana pribadi.

Apa yang beliau itu lakukan adalah sah-sah saja, tidak ada aturan yang dilanggar. Hanya saja tentu butuh dukungan finansial yang tidak sedikit dan hal seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki modal finansial yang cukup berlebih.

Politik biaya tinggi ini pasti akan menelan korban. Berdasarkan data, sejak KPK berdiri, ada 300 anggota parlemen, 20 gubernur, 140 bupati/wali kota, dan 30 menteri dari berbagai partai politik yang ditangkap KPK.

Ini tentu menjadi suatu angka atau jumlah yang memprihatinkan. Dan kita boleh yakin bahwa pelaku korupsi itu jumlahnya bukan hanya seperti yang tersebut di atas, tetapi masih banyak dan banyak yang lainnya, yang hanya saja belum kena giliran OTT.

Sampai sejauh ini belum terlihat ada pola yang spesial diupayakan untuk mendisrupsi sistem politik biaya tinggi ini. Jika hanya mengharapkan integritas partai apalagi dalam sistem multi partai yang berlaku, adalah mustahil menciptakan pemilihan pemimpin yang berkualitas dan terhindar dari politik biaya tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun