Masih belum hilang dari ingatan kita, saat berlangsungnya kegiatan Silahturahmi Nasional Desa di Istora Gelora Bung Karno, 22 Maret 2022, para kepala desa melalui Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) menyuarakan aspirasi nyeleneh yaitu perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode.
Dan kembali sekelompok kepala desa ini melalui Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi), pada Selasa, 17 Januari 2023, membuat gebrakan dengan beramai-ramai ke Jakarta untuk berdemonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta meminta perpanjangan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Â
Entah apa yang merasuki para aparatur desa ini, di saat proses politik nasional telah memasuki tahapan pemilu, mereka juga datang memperjuangkan "kepentingan mereka" yang entah dimana urgensinya bagi kepentingan rakyat dan bagi kepentingan politik nasional.
Problematika desa masih begitu banyak yang belum terselesaikan dan menuntut untuk dikerjakan, hingga terlalu naif kiranya ketika aparat desa ini malah ramai-ramai menuntut penambahan masa jabatan dan bukannya bekerja membangun desanya dan mensejahterakan masyarakatnya.
Entah siapa pula yang ingin mengambil keuntungan dengan memobilisasi para kades ini untuk mempertontonkan ambisi keserakahan atas kekuasaan.
Rupanya dana desa 1 milyar per tahun selain memberi dampak positif bagi pemerataan pembangunan hingga ke pelosok daerah juga telah menjadikan sebagian aparat kebablasan pingin nimbrung mengoreksi proses demokrasi yang sayangnya untuk kepentingan parsial mereka semata.
Sungguh miris dan menyesakkan dada, ketika virus ambisi berkuasa itu telah terlihat masif menginfeksi mulai dari pusat, daerah dan kini ke "penguasa" desa. Tak tanggung-tanggung 9 tahun masa jabatan mereka minta.
Jika mau jujur, kita bisa mengatakan bahwa pemilihan kepala desa adalah potret dari politik transaksional yang nyata, apalagi sejak adanya dana desa yang 1 milyar per tahun. Bisa dibayangkan untuk desa dengan jumlah pemilih 1000 orang hanya butuh berapa "Rp" saja yang jika dikalkulasikan bisa tertutupi dari keuntungan mengelola dana desa, jangankan untuk 9 tahun dengan masa jabatan 6 tahun saja sudah untung besar.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap kontribusi para kepala desa dalam membangun desanya, keterlibatan kepala desa dengan menyerempet-nyerempet politik praktis sebaiknya dihindarkan, karena pada akhirnya itu akan berkelindan dengan perilaku koruptif.
Para aparatur desa yang menyuarakan masa jabatan 9 tahun ini, kenapa tidak memetik hikmah dari pesan dan contoh mengagumkan dari seorang Jacinda Ardern, perdana menteri Selandia Baru yang memilih mundur dari jabatannya bukan karena terlibat kasus, atau juga bukan karena tidak mampu akan tetapi karena ia merasa masih banyak orang yang bisa melakukannya dengan lebih baik.
Jacinda Ardern menjadi kepala pemerintahan perempuan termuda di dunia saat terpilih sebagai perdana menteri pada 2017, saat itu ia baru berusia 37 tahun. Ardern berhasil memimpin Selandia Baru melewati sejumlah peristiwa besar, mulai dari pandemi COVID-19, Â serangan teror ke dua masjid di Christchurch serta bencana erupsi vulkanik di White Island.
Ardern adalah pemimpin perempuan yang banyak diapresiasi, dikagumi dan sangat didukung bukan saja oleh warga negaranya tetapi juga oleh masyarakat internasional. Keputusannya mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri tentu sangat mengejutkan dan tak terduga sama sekali.
Posisi politik Jacinda Ardern masih begitu kuat tidak ada hal dan alasan politik yang mengganjalnya. Namun, kesadarannya sebagai pribadi yang juga punya sisi kehidupan keluarga, ia memilih prioritas mendampingi putrinya yang akan masuk sekolah tahun ini. Dan Ia juga telah berjanji pada pasangan hidupnya bahwa tahun ini adalah saat yang tepat baginya dan pasangannya untuk menikah.
Begitu indah pesan dari pengunduran diri Jacinda Ardern ini. Ia langsung mengajarkan kepada kita bahwa "kekuasaan politik" itu bukan untuk kepentingan pribadi, meski dengan kekuasaan itu ia bisa memperoleh kemudahan dan keuntungan.
Jacinda Ardern mampu melepaskan serta memisahkan kepentingan politik dan kepentingan pribadi. Dia yakin bahwa masih banyak orang-orang yang bisa melakukan yang terbaik bagi negaranya.
Kekuasaan bukan untuk dipertahankan apalagi sampai harus menuntut masa untuk menjabat, padahal telah ada aturan undang-undang yang mengatur itu. Jika kita percaya bahwa proses demokrasi (Pemilu, Pilpres, Pilkada, dan Pildes) akan menghasilkan pemimpin terbaik maka mari kita lalui semua proses itu.
Kalau prosesnya berjalan baik sebagaimana yang seharusnya, no politik transaksional, no politik identitas, jujur, adil serta tanpa tekanan tentu hasilnya akan baik pula. Dan tak perlu menunggu lama hingga 9 tahun untuk mengadakan pemilihan lagi, jangankan 6 tahun, Amerika Serikat yang negara super power dengan 50 negara bagian, dengan jumlah penduduk ketiga terbesar di dunia, masa jabatan presidennya cuma 4 tahun dan maksimal 2 priode saja.
Lah ini desa yang jumlah warganya, kalau di daerah saya satu desa rata-rata memiliki 400-800 jiwa, entahlah di daerah Jawa dan Sumatera yang padat penduduk mungkin agak banyak tapi tentu tak mencapai puluhan ribu jiwa per desa. Masak sih minta 9 tahun, apa kata dunia.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H