Jacinda Ardern menjadi kepala pemerintahan perempuan termuda di dunia saat terpilih sebagai perdana menteri pada 2017, saat itu ia baru berusia 37 tahun. Ardern berhasil memimpin Selandia Baru melewati sejumlah peristiwa besar, mulai dari pandemi COVID-19, Â serangan teror ke dua masjid di Christchurch serta bencana erupsi vulkanik di White Island.
Ardern adalah pemimpin perempuan yang banyak diapresiasi, dikagumi dan sangat didukung bukan saja oleh warga negaranya tetapi juga oleh masyarakat internasional. Keputusannya mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri tentu sangat mengejutkan dan tak terduga sama sekali.
Posisi politik Jacinda Ardern masih begitu kuat tidak ada hal dan alasan politik yang mengganjalnya. Namun, kesadarannya sebagai pribadi yang juga punya sisi kehidupan keluarga, ia memilih prioritas mendampingi putrinya yang akan masuk sekolah tahun ini. Dan Ia juga telah berjanji pada pasangan hidupnya bahwa tahun ini adalah saat yang tepat baginya dan pasangannya untuk menikah.
Begitu indah pesan dari pengunduran diri Jacinda Ardern ini. Ia langsung mengajarkan kepada kita bahwa "kekuasaan politik" itu bukan untuk kepentingan pribadi, meski dengan kekuasaan itu ia bisa memperoleh kemudahan dan keuntungan.
Jacinda Ardern mampu melepaskan serta memisahkan kepentingan politik dan kepentingan pribadi. Dia yakin bahwa masih banyak orang-orang yang bisa melakukan yang terbaik bagi negaranya.
Kekuasaan bukan untuk dipertahankan apalagi sampai harus menuntut masa untuk menjabat, padahal telah ada aturan undang-undang yang mengatur itu. Jika kita percaya bahwa proses demokrasi (Pemilu, Pilpres, Pilkada, dan Pildes) akan menghasilkan pemimpin terbaik maka mari kita lalui semua proses itu.
Kalau prosesnya berjalan baik sebagaimana yang seharusnya, no politik transaksional, no politik identitas, jujur, adil serta tanpa tekanan tentu hasilnya akan baik pula. Dan tak perlu menunggu lama hingga 9 tahun untuk mengadakan pemilihan lagi, jangankan 6 tahun, Amerika Serikat yang negara super power dengan 50 negara bagian, dengan jumlah penduduk ketiga terbesar di dunia, masa jabatan presidennya cuma 4 tahun dan maksimal 2 priode saja.
Lah ini desa yang jumlah warganya, kalau di daerah saya satu desa rata-rata memiliki 400-800 jiwa, entahlah di daerah Jawa dan Sumatera yang padat penduduk mungkin agak banyak tapi tentu tak mencapai puluhan ribu jiwa per desa. Masak sih minta 9 tahun, apa kata dunia.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H