Pemilihan umum atau Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses resmi untuk memilih seseorang menjadi wakil rakyat di parlemen atau badan legislatif. Sebagai bagian dari proses politik, sudah seyogyanya sistem pemilu harus memenuhi proposisi politik dari pemilik suara (rakyat).
Menjelang pesta demokrasi (baca: pemilu) di 2024 nanti, bergulir gugatan dari sejumlah pihak yang mengajukan uji materi terhadap pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kepada MK. Uji materi ini memungkinkan sistem pemilu akan kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup atau ke sistem yang lain yakni sistem distrik seperti yang berlaku di Amerika Serikat, Kanada dan juga India.
Jika selama ini di tiga pemilihan umum terakhir yang berlangsung di Indonesia kita menggunakan sistem proporsional terbuka dari sebelumnya yang menganut sistem proporsional tertutup.
Menanggapi uji materi UU Nomor 7 tahun 2017, pihak KPU sebagai otoritas penyelenggara pemilu tentu saja akan mengikuti undang-undang, apa yang menjadi putusan MK maka itulah yang akan dijalankan oleh KPU.
Namun, 8 dari 9 parpol yang saat ini ada di DPR dengan tegas menyatakan bahwa mereka tetap menginginkan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka sebagaimana yang telah dilakukan di tiga pemilu terakhir.
Lantas sistem mana yang sesungguhnya cocok untuk diterapkan pada pemilu kita? Setiap pilihan tentulah ada nilai positif dan ada nilai negatifnya. Uji materi UU Nomor 7 tahun 2017 yang diajukan ke MK pun tentu didasari pada pertimbangan oleh adanya nilai negatif pada sistem proporsional terbuka.
Indonesia dengan sistem multi partai, dimana pada pemilu 2024 ini diikuti oleh 18 partai secara nasional plus 6 partai lokal Aceh. Jika mengacu pada kondisi ini, sepertinya sistem distrik adalah pilihan terburuk. Sistem distrik lebih efektif berlaku dalam kontestasi antara dua partai, dimana dalam sistem distrik setiap daerah pemilihan dibagi berdasarkan wilayah dan bukan jumlah penduduk, dan setiap daerah pemilihan hanya terdapat satu kursi lembaga perwakilan yang diperebutkan. Caleg yang meraih suara terbanyak merupakan pemenang dan meraih satu kursi lembaga perwakilan (the winner takes all).
Dalam konteks multi partai tentu saja ini tidak efektif, akan banyak suara rakyat yang mubazir, kedekatan wakil rakyat dengan konstituen menjadi bias. Dinamika persaingannya ketat tetapi keterwakilan aspirasi masyarakat kurang berwarna. Kesimpulannya sistem distrik tidak mungkin menjadi pilihan untuk dilaksanakan di Indonesia apalagi di pemilu 2024 nanti.
Pilihan paling logis dalam situasi dan kondisi politik di negeri ini tentulah dengan sistem proporsional terbuka. Kehidupan demokrasi dan politik mengharuskan terbangunnya kedekatan antara konstituen dan wakil yang dipilihnya. Dengan demikian hal tersebut akan memperkuat partisipasi serta kontrol publik terhadap kinerja anggota legislatif dalam mengawal semua proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Tetapi tunggu dulu, sistem ini juga menjadikan dinamika internal partai menjadi dinamis, yang bisa menyebabkan timbulnya kontestasi antar anggota di internal partai, kapasitas caleg bukan lagi menjadi ukuran, yang penting adalah elektabilitas dan sebagaimana yang kita harus jujur mengakui bahwa elektabilitas di politik negeri ini ditentukan oleh "wani piro" yang artinya siapa yang memiliki modal finansial besar maka dialah yang paling berpeluang lolos, sekalipun kualitas dan kapabilitasnya sebagai anggota legislatif biasa-biasa saja.
Sistem wani piro ini akan menjadi gerbang masuk kedalam perilaku koruptif, sebagai bagian dari pengembalian modal. Dalam sistem multi partai yang ada di Indonesia ini mendorong persaingan menjadi sedemikian ketatnya, sehingga kapasitas politik (dalam arti yang sebenarnya) bagi caleg menjadi nomor sekian, yang menjadi ukuran utama adalah seberapa banyak sang caleg mampu meraup suara dan mendapatkan kursi.
Selain itu sistem proporsional terbuka dapat mereduksi peran partai politik. Jika kita bandingkan dengan sistem proporsional tertutup dimana caleg yang duduk atau terpilih ditetapkan oleh partai berapapun jumlah perolehan suaranya. Kandidat yang terpilih duduk di parlemen tentunya adalah figur yang terbaik berdasarkan kriteria partai.
Sebagai gambaran saja ada banyak cerita-cerita lucu seputar anggota dewan di daerah saya, seperti misalnya ada seorang anggota dewan yang tidak tahu kalau ayam itu termasuk unggas, ada juga anggota dewan yang dengan polosnya bertanya berapa jumlah RT dan RW dalam sidang pembahasan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Ada juga yang dengan lugunya ingin mengatakan sidang paripurna tapi yang disebutnya sidang purnama.Â
Selain itu juga marak kita saksikan dan dengarkan bersama berapa banyak anggota dewan yang terlibat kasus korupsi, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Anggota dewan yang terlibat kasus judi, narkoba, asusila yang mana semua ini tentu merupakan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh anggota dewan yang seharusnya terhormat.
Hal-hal negatif yang terjadi akibat sistem proporsional terbuka seperti disebutkan di atas, sedikit tidaknya bisa dihindari ataupun diminimalisir dengan sistem proporsional tertutup. Dengan sistem proporsional tertutup peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan lebih kuat dan dapat mendudukkan kader-kader yang sesuai dengan kebutuhan politik partai dan juga masyarakat serta daerah/negara.
Namun, perlu diingat bahwa mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup akan mengarah kepada semakin menguatnya oligarki di internal partai. Partisipasi rakyat tidak menghasilkan kedekatan dengan kandidat yang terpilih. Sebagaimana pengalaman terdahulu saat sistem proporsional tertutup masih berlaku, orang-orang yang punya popularitas dan kedekatan dengan konstituen dipasang oleh partai hanya sebagai vote Getter dengan nomor urut yang dulu diistilahkan dengan nomor sepatu alias caleg yang memang tidak mungkin terpilih tapi punya peran sebagai pendulang suara. Sementara itu, yang akan panen biasanya orang-orang yang tidak punya basis massa.
Terkait dengan kenyataan politik pemilu kita yang masih kental dengan "wani piro" ini potensi money politik tetap saja terbuka, bahkan cenderung lebih murah modalnya. Dalam sistem terbuka pilihan konstituen adalah langsung kepada kandidatnya, secara psikologis pilihan pada figur ini lebih "mahal" harganya jika dibandingkan permintaan memilih partaiÂ
Meski demikian, saya sependapat dengan kedelapan partai yang tetap menginginkan sistem proporsional terbuka. Persoalan money politik yang cenderung sangat vulgar di sistem proporsional terbuka ini, juga masalah figur caleg yang tidak atau kurang memenuhi syarat kualitas, kapasitas dan kapabilitas dalam artian kebutuhan formal politik nasional sebagai bagian dari partisipasi dan kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan. Itulah yang harus kita perbaiki bukannya kembali kepada sistem yang telah ditinggalkan, yang potensi negatifnya juga tak kalah riskannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H