Salah satu problema serius dunia modern adalah semakin bertambahnya jumlah populasi manusia yang tentu saja semakin membutuhkan banyak ruang guna menunjang segala kebutuhan aktivitas dan interaksi manusia.
Konsekwensi logis yang dihadapi oleh umat manusia terhadap problema ini adalah semakin terbatasnya ketersediaan lahan, yang tentu saja pada akhirnya akan menjadikan lahan sebagai sesuatu yang memiliki 'harga mahal'.
Sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah populasi tentu akan semakin banyak pula orang yang akan meninggal. Dalam banyak budaya dan kebiasaan orang-orang, bahwa salah satu bentuk penghargaan atas orang yang meninggal dunia adalah dengan memberikan pemakaman (dikuburkan) yang layak, baik secara seremonial sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing, maupun tempat dan bentuk makamnya.
Persoalan yang kemudian timbul adalah ketersediaan lahan yang semakin lama tentu semakin terbatas, kini di banyak tempat (dan bisa saja akan terjadi di semua wilayah) bahwa penguburan jenazah menjadi barang mahal.
Nah, persoalan orang meninggal dunia ini sangat terkait dengan sosial, budaya, tradisi dan keyakinan dari masyarakat itu sendiri. Dalam tradisi atau keyakinan umat muslim jasad manusia yang meninggal dunia harus dihormati dengan menguburkannya secara layak dan sesuai dengan syariat yang ada.
Bagi umat lain tentu ada pula tradisi dan keyakinan masing-masing, ada yang juga dikuburkan, ada yang dikremasi, ada yang dilarungkan di sungai, ada yang diletakkan di bawah pohon atau di lubang gua/batu bahkan ada yang diawetkan. Semua prosesi ini merupakan warisan tradisi ataupun keyakinan (agama) turun temurun yang sudah baku berlaku di masyarakat, semua memiliki tatacara dan ritualnya masing-masing. Dan masing-masing pemeluk agama saling menghormati dan memahfumi tradisi dan keyakinan tersebut.
Namun, dari berbagai macam prosesi pengurusan jenazah yang kita kenal, kini ada 'inovasi' yang mohon maaf menurut saya nyeleneh yaitu metode yang disebut penguburan hijau. Metode penguburan hijau ini dipandang sebagai opsi bagi solusi atas keterbatasan lahan di perkotaan dan selain itu itu juga sebagai opsi yang ramah lingkungan.
Apa yang dimaksud dengan metode penguburan hijau ini adalah menjadikan jasad atau jenazah manusia menjadi kompos. Inovasi ini tentu saja bukan di Indonesia, inovasi ini adanya di negeri Paman Sam.
Pada tahun 2019, Washington menjadi negara bagian pertama yang mengeluarkan undang-undang yang melegalkan pengomposan jasad manusia. Tak lama kemudian metode penguburan hijau ini juga dilegalkan di Colorado dan Oregon pada tahun 2021, disusul pula oleh negara bagian Vermont dan California pada 2022, serta New York menjadi negara bagian keenam yang mensahkan undang-undang yang melegalkan reduksi organik alamiah jasad manusia atau yang dikenal sebagai proses pengomposan jasad manusia ini. (Sumber: VOA Indonesia)
Jika dicermati secara logika ini sangat inovatif, betul-betul ramah lingkungan, menghemat bahkan menihilkan lahan. Tetapi selain berbicara tentang agama atau keyakinan yang telah tertanam secara turun temurun, metode ini sepertinya tidak cocok untuk orang kebanyakan, kenapa? Yah, karena mahal.
Mengutip dari VOA Indonesia, Perusahaan penguburan hijau di Seattle, USA bernama Recompose, mengatakan biaya pengomposan manusia ''hampir sama'' dengan biaya metode pemakaman lain, yaitu berkisar $7.000 (Rp108 juta).
Tapi, harga mahal ini mungkin relatif dan mungkin masih bisa lebih murah. Metode pengomposan adalah dengan memasukkan jasad kedalam bejana khusus yang dicampur dengan bahan organik seperti jerami dan serbuk gergaji yang kemudian dibiarkan terurai dalam proses yang memakan waktu 30 hari. Setelah 30 hari, isi bejana disaring untuk memisahkan bahan anorganik kemudian tulang belulang yang tersisa dihancurkan dan proses dilanjutkan kembali hingga hari ke-60, dimana jasad telah tereduksi secara alamiah menjadi bahan organik berupa tanah kaya nutrisi setara dengan 36 kantong.
Nah, apakah pantas uang sebanyak $ 7000 itu membuat seseorang manusia yang telah mewarnai kehidupan dunia dengan segala kebaikannya menjadi pupuk kompos yang bisa dibeli seharga sepersepuluh dari biaya penguburan hijau itu. Atau apakah pantas jasad manusia yang terhormat itu dengan uang sebesar Rp 108 juta hanya untuk dijadikan kompos yang sama fungsinya dengan tahi sapi dan tahi ayam.
Masih dari VOA Indonesia, New York state catholic conference, telah lama menentang RUU tersebut, karena mengangap hal itu sebagai metode penguburan yang tidak pantas dan tidak memenuhi standar perlakuan hormat terhadap jasad manusia.
Terlepas dari ide dan inovasinya, metode ini memang akan menjadi pro kontra di masyarakat, dalam tatanan kehidupan masyarakat modern masih banyak orang-orang yang tetap teguh memeluk keyakinan yang lahir berabad-abad lalu yang oleh masyarakat modern telah dianggap basi.
Memang tidak bisa dipungkiri, pada akhirnya persoalan lahan pemakaman akan menjadi problema serius, rumit dan mahal. Bisa jadi dalam masyarakat muslim pun akan ada ijtihad untuk mencari solusi jika persoalan keterbatasan lahan pemakaman menjadi serius. Dan pada akhirnya akan ada solusi yang beradab (religius) yang jauh lebih terhormat daripada menjadikan manusia jadi kompos.
Mohon maklum, sebagai seorang muslim saya berpegang pada pendapat para ulama yang tidak berbeda pendapat dalam hal kehormatan dan kemuliaan manusia ketika masih hidup dan ketika telah wafat sebagaimana yang diisyaratkan dalam Surat Al Isra Ayat 70, "Sungguh, kami telah muliakan anak Adam." (Dan sayapun percaya, keyakinan lain juga berpendapat sama akan hal ini). Juga dari hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra
"Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda: 'Pematahan tulang jenazah seperti pematahan tulangnya ketika ia hidup'." (HR Abu Dawud dengan sanad seperti syarat Muslim)
Salah satu bentuk kehormatan untuk manusia setelah wafat, adalah melakukan prosesi ataupun ritual sesuai keyakinan masing-masing. Bagi umat Islam dengan cara pemakaman yang memenuhi tatacara syariat Islam, bagi saudara umat Kristiani juga dengan tatacaranya yang telah diwariskan secara turun temurun, begitu juga dengan umat Hindu, Budha, Konghucu dan aliran kepercayaan tentu punya keyakinan, aturan dan tatacara sendiri.
Membuat jenazah manusia menjadi kompos mungkin menjadi pilihan atau keinginan personal seseorang, akan tetapi dalam Islam urusan jenazah itu bukan menyangkut keinginan dari si mayat tetapi itu merupakan fardhu kifayah atau kewajiban bagi muslim yang hidup. Meski mayit semasa hidupnya telah mewasiatkan keinginan pengurusan jenazahnya, misalnya ingin dikremasi atau ingin dibuat jadi kompos maka tetap itu tidak boleh dilaksanakan karena kewajiban bagi muslim yang hidup adalah memakamkannya dengan layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H