Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

G30S PKI dan Warisan Konflik Masa Lalu

1 Oktober 2022   01:00 Diperbarui: 1 Oktober 2022   01:03 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana dengan kewajiban tak resmi sejak bertahun-tahun lalu, setiap tanggal 30 September pastilah diwarnai dengan pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer yang dirilis tepatnya di tahun 1984.

Film Pengkhianatan G30S PKI telah menjelma menjadi film "wajib" guna mengenang tragedi 30 September 1965 yang dianggap sebagai puncak dari pemberontakan PKI mulai dari pemberontakan 1920, 1948 dan terakhir 1965.

Terlepas dari ada pihak yang menganggap bahwa pemberontakan oleh PKI ini adalah rekayasa, tetapi sebahagian besar fakta sejarah yang diketahui oleh umum, mendukung  bahwa gerakan PKI adalah nyata dan benar adanya.

Kontroversi yang berkembang sekaitan dengan peredaran film besutan Arifin C Noer ini, adalah  apakah ini fakta sejarah atau propaganda rezim Soeharto?. Di era orde baru mempertanyakan kontroversi film ini tentulah merupakan hal yang tabu. Meski saban tahun sejak 1984 terus diulang putar sebagai bagian dari 'ritual' peringatan peristiwa G30S PKI, masyarakat masih antusias untuk menyimak film yang berdurasi 3 jam 40 menit ini.

Namun demikian, saat kejatuhan orde baru, tepatnya di tahun 1998 di saat pemerintahan presiden BJ Habibie, melalui menteri penerangan yang waktu itu dijabat oleh Yunus Yosfiah serta menteri pendidikan dan kebudayaan Yuwono Sudarsono telah menginstruksikan untuk tidak lagi memutar film ini.

Tetapi meski demikian, film yang berjudul asli Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI ini masih saja mendapat tempat di ruang kenangan orang-orang yang anti komunis, bahkan beberapa tahun belakangan ini termasuk hari ini, film ini kembali tayang di layar kaca stasiun televisi.

Bagi golongan yang anti komunis, apa yang digambarkan dalam tayangan film yang mendapatkan penghargaan skenario terbaik pada Festival Film Indonesia 1985, merupakan pelajaran penting bagi generasi muda untuk mengetahui bahaya sekaligus kekejaman komunis yang sangat tidak sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa.

Untuk itulah maka film ini jadi wajib tonton khususnya bagi generasi muda yang lahir sebagai generasi ke-4 agar mengetahui sejarah kelam yang mewarnai perjalanan bangsa ini dalam menghadapi bahaya laten dari komunisme.

Apakah film ini adalah fakta sejarah yang akurat? Mungkin masih menyimpan banyak pertanyaan, banyak kontroversi. Tetapi meski demikian secara fakta film yang diangkat dari catatan sejarah dalam buku berjudul ‘Percobaan Kudeta Gerakan 30 September di Indonesia’, yang ditulis oleh sejarawan militer mantan Mendikbud di era orde baru Nugroho Notosusanto dan investigator Ismail Saleh boleh dikatakan telah hampir sesuai dengan kenyataannya meskipun itu belum komprehensif.

Sejalan dengan ritual pemutaran film G30S PKI ini, di tanggal 30 September media-media tanah air juga selalu diramaikan dengan kilas balik, kontroversi dan juga harapan serta segala macam pernak-pernik pro kontra komunisme di negeri Pancasila tercinta ini.

Bicara PKI, bicara komunisme di Indonesia tentulah selalu menjadi topik yang panas, apalagi akhir-akhir ini isu kebangkitan PKI semakin marak. Tak bisa dipungkiri gejala-gejala upaya untuk membangkitkan kembali paham komunis di negeri tercinta bisa kita lihat. Akan tetapi apakah gejala kebangkitan yang kita lihat itu adalah betul-betul upaya PKI untuk bangkit kembali ataukah itu hanya paranoid laten kita yang sudah tertanam untuk mengatakan tidak pada komunisme.

Dan jika pun betul ada upaya bangkit itu, apakah itu mengancam dan membahayakan negeri ini?, ataukah mungkin itu hanya sekedar eforia segelintir anak muda yang hanya mencari identitas diri. Apapun itu, bahaya laten komunis masih menjadi momok bagi bangsa ini, dimana TAP MPRS Nomor XXV/1966 belum dicabut.

TAP MPRS Nomor XXV/1966 merupakan ketentuan yang mengatur terkait pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu juga penetapan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI, termasuk didalamnya larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.

Nah, isu hangat belakangan ini yang disuarakan oleh pemerhati adalah rekonsiliasi. Ini menarik, rekonsiliasi yang dimaksudkan disini rekonsiliasi seperti apa?.

Apakah itu rekonsiliasi yang akan membawa pada pengakuan bahwa PKI tidak bersalah, pemerintah harus meminta maaf dan pada akhirnya memberi tempat bagi komunis untuk berkiprah lagi di negeri Pancasila ini.

Mohon maaf, berbicara rekonsiliasi terhadap isu sensitif ini harus berangkat dari, dan berlandaskan konsensus final bangsa yakni Pancasila. Jadi dengan demikian rekonsiliasi ideologi sudah final dengan keputusan "tidak mungkin".

Rekonsiliasi yang paling memungkinkan adalah rekonsiliasi kemanusiaan, kita tentu tidak menginginkan generasi muda kita mewarisi konflik masa lalu. Pelanggaran HAM berat yang mewarnai konflik yang melibatkan PKI dengan anggotanya ataupun yang dianggap anggota, harus diterima oleh kedua belah pihak yang sama-sama sebagai korban dan sekaligus juga sebagai pelaku.

PKI itu masa lalu, komunisme itu masih ada di masa kini, ia masih tetap menjadi bahaya laten. Berlandaskan kemanusiaan, anak-cucu PKI tentu tidak bisa dianggap secara otomatis mewarisi pandangan politik orang tuanya, apalagi di generasi ke-4, jangan sampai stigma PKI yang terus dilekatkan pada anak keturunan PKI justru menjadi penyebab paham yang sudah ketinggalan jaman itu masih tetap hidup di diri anak keturunan PKI.

Yang menjadi musuh Pancasila adalah paham komunismenya, bukan anak-cucu-cicit dari musuh masa lalu. Bisa jadi yang berpaham komunis saat ini adalah generasi baru yang secara keturunan tidak pernah terlibat dengan komunisme.

Yah, melanggengkan doktrinasi saling memusuhi sudah saatnya dibuang jauh-jauh. Kini saatnya marilah kita berbicara tentang edukasi bagi generasi muda dan generasi penerus kita, tentang duka yang sama kita rasakan akibat konflik ideologi yang pernah terjadi di negeri ini, sejarah harus dibuka dengan sebenderang-benderangnya dan diedukasikan secara bertanggungjawab kepada generasi muda kita dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan undang-undang dasar 1945.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun