Genap 77 tahun sudah bangsa ini mengecap kemerdekaannya. Perjuangan berat dalam merebut kemerdekaan itu telah terlewati, namun mempertahankan dan mengisi kemerdekaan itu juga tak kalah beratnya.
Di masa-masa awal kemerdekaan, rongrongan dari kekuatan-kekuatan asing (Belanda) yang coba ingin kembali menjajah bumi pertiwi terus saja terjadi, agresi militer (politionele acties) besar-besaran dilancarkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang dilawan habis-habisan oleh para pahlawan dan pejuang, putra-putri terbaik bangsa.
Belanda terus saja melancarkan agresi militer pertama dan kedua hingga Desember 1949 saat Belanda menyerahkan kedaulatan negara Republik Indonesia dalam sebuah soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) pada 27 Desember 1949 yang ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Betapa beratnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari ambisi Belanda yang ingin merebut kembali kekuasaan atas negeri yang mereka namakan Hindia Belanda ini. Begitu banyak korban yang jatuh baik di pihak musuh (Belanda) maupun dari pihak pejuang dan rakyat Indonesia, termasuk korban 40.000 jiwa yang dibantai oleh Westerling di Sulawesi Selatan saat agresi militer pertama Belanda.
Guna menutupi ketaklegalan agresi yang mereka lakukan, pihak Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda hanya mengakui Indonesia merdeka pada tanggal, 27 Desember 1949 yaitu saat penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Federal Indonesia yang ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Butuh waktu 60 tahun bagi pemerintah Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dimana pengakuan itu baru dilakukan secara resmi pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Departemen Luar Negeri (Deplu). Pada kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri yang saat itu diijabat oleh Hassan Wirajuda.
Keesokan harinya, saat Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 kemerdekaan Republik Indonesia, Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot hadir mengikuti Upacara Kenegaraan Peringatan HUT RI ke-60, di Istana Negara, Jakarta. Apa yang dilakukan oleh Bernard Bot ini merupakan yang pertama kali dalam sejarah yang mendobrak tembok tabu hubungan Indonesia-Belanda.
Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri rangkaian Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Perdana Menteri Belanda ini menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag.
Kehadiran Balkenende bersama dengan para menteri utama Kabinetnya antara lain Menteri Luar Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, Menteri Hukum Ernst Hirsch Ballin, dan para pejabat tinggi dari kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta-duta Besar Belanda untuk Indonesia.
Tidak selesai sampai disitu saja, perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia masih mendapat banyak ujian dan cobaan, sepanjang fase tahun 1950-an hingga 1960-an situasi politik dan pemerintahan tak kunjung stabil, pemberontakan demi pemberontakan terus terjadi, seperti di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat, dan pulau-pulau lainnya yang pada akhirnya bisa digagalkan, begitu juga friksi antara nasionalis dan agama (Islam) serta komunis yang mewarnai kelam masa-masa itu bisa kita lewati dengan begitu banyak penderitaan dan pengorbanan, baik harta, airmata dan juga jiwa.
Selepas itu, fase 1970-an hingga 1990-an yang merupakan awal kebangkitan pembangunan bangsa, warna-warni dan gonjang-ganjing politik masih terasa dan sesekali memanas. Tapi semuanya tidak menyurutkan langkah mantap negeri ini untuk maju menuju masa depan yang gemilang.