Puisi sebagai salah satu karya susastra yang penuh dengan stilistika yaitu penggunaan gaya bahasa sastra sebagai media untuk membentuk nilai estetis dari sebuah karya sastra. Gaya bahasa dan pemilihan diksi dalam karya susastra itu merupakan hasil olah pikir dan olah jiwa yang dipilih sendiri oleh sang pengarang.
Kata atau diksi yang digunakan dalam puisi bisa beragam bentuk, terkadang ada yang sulit, namun terkadang pula cukup sederhana dan tidaklah terlalu sulit untuk di pahami tetapi nilai estetisnya tetap dapat ditangkap dan terlihat oleh pembacanya dan juga pendengarnya.
Penggunaan kata atau diksi yang ekspresif dan kreatif namun memiliki pesona estetis yang tajam yang menggambarkan kekuatan daya cipta dalam sebuah puisi dapat kita temui dalam karya-karya maestro puisi yang pernah kita miliki yakni Chairil Anwar.
Salah satu puisi karya Chairil Anwar yang membekas dalam benak saya dari begitu banyak puisi beliau yang saya gemari adalah puisi beliau yang berjudul "Kesabaran".
Dalam pandangan hemat saya di puisi "kesabaran" ini, Chairil Anwar menonjolkan berbagai aspek pembentukan kata yang kuat dan ekspresif kreatif. Sikap Chairil Anwar yang kritis dalam menampilkan gambaran yang sesungguhnya tentang realitas kehidupan yang terjadi.
Hal ini mampu menyampaikan pesan secara tidak langsung kepada pembaca terhadap kenyataan yang dihadapi oleh dunia baik dahulu maupun sekarang bahkan mungkin di masa yang akan datang masih relevan.
Mulai dari bait pertama puisi "kesabaran", kita disuguhkan penggunaan diksi ekspresif yang cukup sederhana tapi kreatif (lisensi puitika), betapa tidak, ambil sebuah contoh, pilihan diksi 'nggonggong' begitu sederhana bahkan mungkin dari kesederhanaan diksi ini menjadikannya tidak ada dalam kamus baku bahasa Indonesia, namun bagi pendengarnya dapat dipahami sempurna sekaligus memberikan nilai estetis yang kuat.
Pesan estetis dan kuat yang ingin disampaikan oleh Chairil Anwar dari bait pertama puisinya ini, adalah gambaran situasi yang dirasakannya, yang dirasakan oleh  orang-orang di masanya dan di masa kini serta bahkan mungkin sekali juga di masa yang akan datang.  Â
Betapa hubungan kehidupan menjadikan orang-orang tidak dapat merasakan ketenangan dalam hidupnya saat itu (Aku tak bisa tidur). Begitu banyak gaduh, simpang siur kabar serta saling serang menjelekkan orang lain (Orang ngomong, anjing nggonggong). Dunia dan kehidupan yang tersaji sudah tidak lagi dapat dibedakan antara kebaikan dan keburukan (Dunia jauh mengabur, kelam mendinding batu), yang ada hanyalah kekerasan hati dan kepala batu yang meskipun ditegur namun tetap tidak didengar (Dihantam suara bertalu-talu, di sebelahnya api dan batu).
Dari bait kedua puisi ini, kesederhanaan diksi pilihan Chairil Anwar justru membuat rangkaian diksi yang diambil menjadi begitu estetis dan elegan untuk menggambarkan realitas sesungguhnya yang dihadapi.
Chairil Anwar (orang-orang) hendak menyampaikan pandangan, pikiran serta pendapatnya (Aku hendak bicara), tetapi semuanya percuma karena apapun yang dikatakan dan dilakukan tak lagi didengarkan dan tak lagi dihiraukan bahkan tidak dianggap sama sekali (Suaraku hilang, tenaga terbang. Sudah! tidak jadi apa-apa!). Orang-orang hanya sibuk dengan dirinya sendiri (Ini enggan disapa, ambil perduli).
Dari bait ketiga puisi "kesabaran" ini, meski hanya tersampir dalam dua larik, pesan yang akan disampaikan tersaji begitu tegas dalam gambaran diksi yang estetik, yang menggambarkan tentang ketenangan serta kedamaian yang dulu mengalir, kini sudah tak dapat ditemui lagi (Keras membeku air kali), bahkan dunia dan kehidupan tak lagi nampak sebagai dunia dan kehidupan sebagaimana layaknya (Dan hidup bukan hidup lagi).
Dari bait keempat sebagai penutup puisi, diperkuat dengan pilihan diksi yang memberikan rima atau pengulangan yang menjadikan puisi ini enak untuk didengar dan sekaligus menegaskan makna yang ingin disampaikan. Chairil Anwar berusaha menggambarkan tentang ketakberdayannya terhadap dunia (Kuulangi yang dulu kembali), serta kondisi terburuk yang akan terjadi bagi dunia dan kehidupan yakni ketidak pedulian (Sambil bertutup telinga, berpicing mata. Menunggu reda yang mesti tiba).
Chairil Anwar memang seorang pujangga besar yang pernah kita miliki, tak salah kiranya insan-insan susastra dan masyarakat literasi khususnya literasi kesusasteraan mengenang karya-karya beliau di 100 tahun Chairil Anwar ini, bahkan juga di momentum-momentum berikutnya di tahun-tahun yang akan datang.
Chairil Anwar pujangga besar yang memiliki jiwa ekspresionis yang memberikan sajian-sajian puisi yang ekspresif berisi pesan dan makna yang mendalam yang tersaji dalam rangkaian diksi yang memiliki nilai estetis yang dinamis dan elegan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H