Dari bait ketiga puisi "kesabaran" ini, meski hanya tersampir dalam dua larik, pesan yang akan disampaikan tersaji begitu tegas dalam gambaran diksi yang estetik, yang menggambarkan tentang ketenangan serta kedamaian yang dulu mengalir, kini sudah tak dapat ditemui lagi (Keras membeku air kali), bahkan dunia dan kehidupan tak lagi nampak sebagai dunia dan kehidupan sebagaimana layaknya (Dan hidup bukan hidup lagi).
Dari bait keempat sebagai penutup puisi, diperkuat dengan pilihan diksi yang memberikan rima atau pengulangan yang menjadikan puisi ini enak untuk didengar dan sekaligus menegaskan makna yang ingin disampaikan. Chairil Anwar berusaha menggambarkan tentang ketakberdayannya terhadap dunia (Kuulangi yang dulu kembali), serta kondisi terburuk yang akan terjadi bagi dunia dan kehidupan yakni ketidak pedulian (Sambil bertutup telinga, berpicing mata. Menunggu reda yang mesti tiba).
Chairil Anwar memang seorang pujangga besar yang pernah kita miliki, tak salah kiranya insan-insan susastra dan masyarakat literasi khususnya literasi kesusasteraan mengenang karya-karya beliau di 100 tahun Chairil Anwar ini, bahkan juga di momentum-momentum berikutnya di tahun-tahun yang akan datang.
Chairil Anwar pujangga besar yang memiliki jiwa ekspresionis yang memberikan sajian-sajian puisi yang ekspresif berisi pesan dan makna yang mendalam yang tersaji dalam rangkaian diksi yang memiliki nilai estetis yang dinamis dan elegan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H