Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ciptakan Pemilu Berkualitas, dengan Peserta Pemilu yang Berkualitas

27 Juli 2022   23:07 Diperbarui: 28 Juli 2022   09:44 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan umum merupakan manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat, dimana pemilu memberikan legitimasi serta kebebasan bagi rakyat dalam menentukan pilihannya untuk memilih calon-calon wakil rakyat yang tergabung dalam Partai Politik.

Pilihan dari, oleh, dan untuk rakyat. Inilah yang menjadi dasar kekuasaan pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang akan diambil. 

Dengan demikian sudah barang tentu, setiap partai politik (Parpol) akan selalu berusaha untuk memperoleh dukungan rakyat yang sebesar-besarnya pada saat Pemilihan Umum agar partainya memperoleh suara yang banyak sehingga bisa menjadi partai yang dominan di dewan perwakilan rakyat..

Di sisi lain, suara parpol akan menjadi pintu atau jalan untuk mengusung calon pemimpin (kekuasaan), baik itu pemimpin bangsa maupun pemimpin daerah.

Idealnya pemimpin yang terpilih melalui proses demokrasi (pemilu) ini pada dasarnya adalah instrumen bagi kepentingan orang banyak. Ia harus melayani kepentingan orang banyak bukan kepentingan golongan, partai dan kelompok.

Nah, jika kita berbicara demokrasi, maka semakin banyak pilihan (parpol) yang tersedia bagi rakyat untuk dipilih tentu akan semakin baik.  Akan tetapi, perlu disadari bahwa kualitas demokrasi itu bukan ditentukan oleh banyaknya jumlah kontestan pemilu, kenapa?

Sebab parpol pada akhirnya akan membuat polarisasi di masyarakat. Semakin banyak kutub-kutub dalam politik maka semakin terbuka kemungkinan terjadinya friksi, baik itu di kalangan level atas maupun di akar rumput.

Sebenarnya, berdasarkan pengalaman, secara umum warna politik itu, terutama di Indonesia hanya dua yakni nasionalis-demokratis dan nasionalis-agama, lain daripada itu tidak mendapat tempat di negeri ini.

Jika demikian, mengapa di era reformasi ini justru jumlah partai politik yang ada jauh lebih banyak dari jumlah parpol di masa orde baru yang hanya mengenal tiga gambar Pohon Beringin, Kepala Banteng dan Ka'bah. Bisa kita bandingkan saat pertama kali euforia keran demokrasi terbuka dengan bebas, peserta pemilu 1999 dikuti oleh 48 partai politik, namun partai yang memperoleh kursi hanya 19 partai.

Demikian pula di pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik, 8 partai diantaranya tidak memperoleh kursi. Di tahun 2009 peserta pemilu kembali bertambah, selain ke-16 parpol yang memperoleh kursi di pemilu sebelumnya, putusan MK memutuskan peserta pemilu 2004 berhak untuk mengikuti pemilu 2009, kemudian ada pula tambahan partai baru sehingga total peserta pemilu 2009 adalah 38 parpol, namun hanya 9 parpol yang memperoleh kursi dan lolos parliamentary threshold.

Selanjutnya di pemilu 2014, meski sebelumnya hanya 9 parpol yang lolos ambang batas parlemen, namun kembali ada tambahan 3 parpol baru (tapi lama) sebagai peserta pemilu 2014, dan hasilnya dua dari tiga parpol tambahan kembali gagal menembus parliamentary threshold.

Pemilu 2019 kembali terjadi penambahan peserta baru pemilu di luar parpol yang lolos parliamentary threshold. Dari 27 parpol yang mendaftar, KPU meloloskan 16 parpol sebagai peserta pemilu 2019. Dan hasilnya rakyat pun kembali menyeleksi dan menjadi eksekutor bagi 7 parpol yang tidak mencapai ambang batas parlemen.

Nah, pemilu tahun 2024 berdasarkan pendaftaran akses ke Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) telah terdaftar 42 parpol, dimana 35 diantaranya adalah partai politik nasional dan 7 adalah parpol lokal Aceh, jumlah pendaftar ini masih bisa bertambah mengingat pendaftaran akan terbuka hingga 14 Agustus 2022 nanti. Namun, putusan berapa parpol yang lolos akan diputuskan di bulan Desember 2022 nanti.

Bedasarkan pengalaman dari 5 pemilu sebelumnya di era reformasi ini, bahwa jumlah peserta pemilu yang besar tidaklah efektif, sebab bagaimanapun alam akan menyeleksi dengan sendirinya partai politik yang tidak mendapat dukungan minimal dari rakyat. Besarnya jumlah peserta pemilu tidak saja membutuhkan biaya yang besar, akan tetapi juga menambah beban kerja dan potensi konflik.

Idealnya electoral threshold serta parliamentary threshold sebagai instrumen untuk menyederhanakan jumlah peserta pemilu agar menjadi peserta pemilu atau parpol yang terseleksi, kuat dan berkualitas karena dengan itu semua apa yang menjadi tujuan dari pesta demokrasi itu akan tercapai dengan mudah.

Artinya di sini tak perlu lagi ada tambahan partai baru dan atau apalagi partai yang sudah tereliminasi tapi kembali diikutsertakan dengan hanya mengganti nama saja. Sampai berapa jumlah ideal partai yang dibutuhkan, biarlah rakyat yang menjadi pengadil alias eksekutor untuk menentukan partai mana saja yang bisa lolos parliamentary threshold, apakah sembilan, lima, tiga, atau dua saja.

Jika platform partai yang ada 'sama', apakah itu yang berlandaskan nasionalis-demokratis, nasionalis-agama, maka boleh dikatakan perjuangannya akan lebih efektif dan ideal jika diwakili oleh kesatuan dari kesamaan platform partai. Jadi partai-partai tereliminasi bisa berfusi dengan partai yang lolos yang memiliki kesamaan arah dan tujuan perjuangan.

Bagi rakyat kebanyakan, tentu bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan dari partai-partai baru dan juga dari partai yang berkali-kali tidak lolos dalam persaingan pemilu, hanya ganti nama lalu mendaftar kembali, ikut dan gagal lagi, gagal lagi.

Terus terang fenomena partai peserta pemilu ini menimbulkan pertanyaan, bukannya terseleksi menjadi mengerucut menyisakan beberapa saja (sedikit) partai politik yang memiliki basis kekuatan di parlemen (politikus) dan di akar rumput (pemilih).

Kita tidak bisa memungkiri bahwa kekuatan politik terbesar itu adalah dengan adanya persatuan (koalisi), apalagi jika platform partai yang sama, tentu arah dan tujuan yang ingin dicapai akan berada di jalan yang sama, jadi mengapa harus berjuang di rumah (partai) yang berbeda dan pada akhirnya akan ada yang tereliminasi.

Apakah ego politik para politikus kita yang lebih mementingkan kepentingan golongan dan kelompoknya saja? Ketika perbedaan pandangan dimaknai dengan 'bercerai'. 

Ini merupakan fenomena nyata yang terjadi di dunia politik tanah air, berapa banyak orang yang tadinya berjuang bersama dalam sebuah partai kini berjalan sendiri-sendiri bersama partainya padahal sebenarnya membawa maksud dan tujuan yang sama untuk Indonesia yang maju, kuat, dan berdaulat.

Pada akhirnya dinamika politik di negeri ini selalu terpolarisasi pada banyak kutub, persaingannya bukan lagi persaingan mencari kebijakan terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara, melainkan menjadi bagaimana partai politiknya bisa bertahan dan berkuasa.

Persaingan yang ada menjadi tidak lagi menyejukkan, rakyat (pemilih) sangat mungkin dibohongi oleh mereka yang menginginkan duduk diposisi kekuasaan dengan janji-janji politik yang memabukkan.

Segelintir oportunis yang memiliki modal kapital dan jaringan kekuasaan memiliki peluang teramat besar untuk memanfaatkan suara orang banyak demi kepentingannya. 

Para oportunis itu menambang suara orang banyak melalui manipulasi kognitif dan psikis, baik dengan memanfaatkan isu kemiskinan (money politik) maupun dengan cara mengeksploitasi isu keagamaan demi menambang suara masyarakat kecil yang lemah dan lugu (politik identitas).

Sampai hari ini kita melihat bahwa dengan pola partai politik yang ada dan banyak ini , bahwa demokrasi nampaknya bisa jadi oligarki dimana dewan perwakilan rakyat diisi oleh orang-orang yang diarahkan para bos politik yang memiliki dan menguasai partai sebagai tambang emas milik pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun