Di bulan puasa Ramadhan ini ada begitu banyak tradisi-tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat dengan ciri khas masing-masing. Mungkin ada sebagian dari tradisi itu yang kita kenal dan bahkan mungkin kita ikut melakukannya.Â
Namun demikian, tentu ada juga yang mungkin belum pernah kita lihat atau ketahui, keanekaragaman tradisi di negeri ini memang begitu majemuk dari Sabang sampai ke Merauke masing-masing mempunyai tradisi-tradisi lokal yang bersifat unik termasuk juga tradisi dalam mengisi bulan Ramadhan oleh masyarakat di kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Kalau selama ini, mungkin sebahagian besar di antara kita mengenal kepulauan Wakatobi sebagai Destinasi wisata yang memiliki keindahan bawah laut yang keren.Â
Nah, selain dari keindahan bawah lautnya Wakatobi juga kaya dengan tradisi budaya  yang tak kalah unik dan menarik, salah satunya adalah tradisi "Posepa'a" yang rutin digelar setiap tahun oleh masyarakat Wakatobi, khususnya masayarakat di Liya Togo, Wangi-wangi Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Posepa'a yang dalam bahasa daerah Liya Togo bisa diartikan sebagai "saling sepak".
Tradisi Posepa'a bagi masyarakat di Liya Togo ini sudah dikenal sejak zaman kesultanan dengan cara beradu kekuatan beladiri menendang dengan menggunakan kedua kaki yang dilakukan oleh laki-laki dewasa maupun anak-anak yang diadakan di saat bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha di sekitaran Benteng Keraton Liya Togo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Posepa'a adalah atraksi saling tendang yang biasanya dilakukan antara Yro Wawo sebutan untuk masyarakat dari wilayah Timur lapangan Posepa'a dengan Yro Woru sebutan untuk masyarakat dari wilayah Barat lapangan.Â
Posepa'a, dilakukan dengan cara berpegangan tangan dengan pasangan yang disebut 'ndai' dan secara berkelompok. Kemudian masing-masing pasangan dengan kelompoknya yang dinamai kelompok Amai Wawo (Timur) dan kelompok Amai Woru (Barat) akan saling menendang dan mengejar pasangan lawannya hingga lawan menjadi tercerai berai dari kelompoknya, dan kelompok yang menyisakan pasangan yang tetap utuh bertahan dan masih tetap saling berpegangan tangan itulah yang keluar sebagai pemenangnya.
Meski permainan Posepa'a ini terlihat keras bahkan mungkin ada yang melihatnya sebagai permainan yang kasar, namun selama gerakan Posepa'a ini dilakukan dengan tepat sesuai dengan petunjuk pemandu (pawang) seperti misalnya tak diperbolehkan menendang lawan yang terjatuh, maka diyakini tidak akan ada peserta yang cedera berat meski sekeras dan sekuat apapun tendangan yang mengenai tubuh peserta.Â
Dan konon pula, bahwa lapangan Mesjid Liya Togo tempat dilaksanakannya acara Posepa'a ini telah dipagari do'a oleh para leluhur Liya Togo agar tidak ada peserta Posepa'a yang akan mengalami cedera berat dan meninggal dunia.
Secara tradisi gelaran Posepa'a ini bisa diikuti oleh anak-anak, remaja dan dewasa. Dimana pada awal Ramadhan, yaitu 1-10 Ramadhan biasanya acara ini digelar untuk anak-anak, lalu di 11-20 Ramadhan diikuti oleh peserta remaja dan terakhir di 21-29 Ramadhan diikuti oleh orang dewasa.
Dan pada puncaknya di Satu Syawal atau hari Idul Fitri acara adat ini dilakukan oleh semua peserta baik anak-anak, remaja, hingga dewasa. Dalam beraksi di budaya Posepa'a, kemungkinan untuk mendapat cedera dan bahkan terluka sangat mungkin terjadi. Namun itu semua hanya sampai di arena saja tidak boleh sampai memperpanjang masalahnya di luar arena.
Ketika pagelaran tradisi Posepa'a telah selesai, maka para peserta tradisi Posepa'a ini akan saling berjabat tangan dan bermaaf-maafan membuang segala dendam yang mungkin saja timbul, bahkan kalau ada peserta yang cedera maka sebisa mungkin sang lawan yang mencederainya akan datang untuk membantu mengobati cedera lawannya.
Satu yang menjadi keunikan dari gelaran tradisi Posepa'a ini adalah tidak boleh ada orang atau juri bahkan pihak keamanan di dalam arena. Jika saja terjadi keributan atau kekacauan dalam permainan antara para pelaku tradisi Posepa'a ini, maka mereka sendiri (para peserta) yang harus mengamankannya, tetapi dengan aturan bahwa orang yang mengamankan tersebut tidak boleh lagi berpegangan tangan dengan pasangannya.
Pada zaman dahulu, Posepa'a ini merupakan ajang seleksi bagi calon prajurit Benteng Liya sebelum mereka diterjunkan ke medan perang.
Meski secara langsung tradisi Posepa'a ini tidak ada kaitannya dengan ibadah puasa itu sendiri, hanya saja tradisi pelaksanannya yang dilakukan di bulan puasa atau bulan Ramadhan hingga hari raya Idul Fitri juga di hari Idul Adha.
Dan kenapa tradisi ini dilaksanakan di saat bulan puasa tentu ada filosofi tersendiri, yaitu bahwa permainan Posepa'a ini sebagaimana yang kita baca di atas adalah permainan adu fisik yang bisa saja rentan menimbulkan rasa sakit yang mungkin saja berujung kepada rasa marah.Â
Nah, karena dalam permainan ini marah, dendam dan permusuhan tidak diperkenankan, segala kehebohan hanya bisa berlaku di dalam arena atau pertandingan saja, karena keluar dari situ semua hal-hal negatif harus ditanggalkan, sehingga selesai melakukan Posepa'a semua harus kembali damai, riang dan gembira, tanpa ada dendam dan permusuhan dan itu akan sangat cocok jika dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa, karena orang yang berpuasa itu salah satu kewajibannya adalah berperang menahan hawa nafsu amarah.
Demikianlah salah satu tradisi di bulan puasa oleh masyarakat Liya Togo di Wakatobi yang sudah berlangsung secara turun temurun sebagai bentuk akulturasi budaya lokal dengan masuknya Islam di kepulauan Wakatobi.Â
Tradisi yang tetap dipelihara dan dipertahankan oleh masyarakat Liya sebagai bagian dari tradisi budaya yang memiliki fungsi hiburan, fungsi jalinan silaturahmi, dan fungsi identitas lokal, serta fungsi pelestarian budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H