Haruskah Shin Tae-yong diganti atau dipertahankan.? Kalau sekiranya kita mengganti ShinTae-yong, apakah ada pelatih yang bisa memberikan hasil instant yang melebihi dari apa yang telah dicapai Shin Tae-yong.? Lantas kalau dipertahankan apakah Shin Tae-yong dapat membuat Timnas senior kita mengukir prestasi yang sudah lama sekali tidak pernah lagi kita rasakan.?
Jika merunut kembali perjalanan Tae-yong menukangi Timnas Garuda yang baru seumur jagung, januari ini genap dua tahun ia mengarsiteki Timnas merah putih. Awalnya, Shin Tae-yong dikontrak sebagai pelatih untuk mempersiapkan Timnas Indonesia yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, namun turnamen yang sedianya digelar tahun ini harus ditunda hingga 2023.
Selain itu, ada sejumlah agenda lain yang menjadi tugas Shin Tae-yong diantaranya Piala  AFF 2020 dengan hasil menjadi finalis, Piala AFF U-22 2022, Kualifikasi Piala Asia 2023, SEA Games 2021, dan Piala AFF 2022.
Pertanyaannya sekarang apa sih harapan kita terhadap kepelatihan Shin Tae-yong.? Apakah harapannya mengacu pada hasil (prestasi) atau pada proses.?
Jika ortientasi kita pada prestasi, maka tidak ada sesuatu yang bisa diraih secara instan. Lagi pula dari segi prestasi, apa yang ditorehkan Shin Tae-yong tidaklah buruk-buruk amat. Jika ukurannya di piala AFF 2020, jika kita melihat secara realistis bahwa jangankan final, masuk semifinal pun adalah sesuatu yang berat, lawan-lawan yang kita hadapi adalah tim-tim dengan skuad pemain yang sudah matang.
Tapi di penyisihan grup kita bisa tampil sebagai juara grup, mengangkangi Vietnam tim dengan peringkat FIFA teratas di kawasan Asia Tenggara. Malaysia si musuh bebuyutan yang sesumbar menganggap remeh Timnas Garuda dilibas oleh pasukan STY dengan skor yang nggak tanggung-tanggung 1-4.
Lantas di semifinal, menyingkirkan tim tuan rumah yang diperkuat oleh pemain-pemain yang telah matang secara teknis bahkan didukung dengan faktor non teknis sebagai tuan rumah. Hanya saja hasil final yang jauh dari ekspektasi, khususnya di leg pertama kita terlihat kalah segala-galanya dari Thailand yang sangat siap untuk turun di turnamen AFF 2020, mereka tampil dengan kekuatan penuh dari tim senior terbaik mereka.
Tapi di leg kedua, kita bisa melihat bagaimana kalang kabutnya Thailand menghadapi gempuran berani para Garuda muda, hanya faktor kematangan saja yang membuat Thailand bisa menghindari hasil yang lebih buruk.
Nah, jika orientasi kita terhadap proses. Apa yang dimulai dan dirintis oleh Shin Tae-yong merupakan sebuah proses penting, yang harus diakui dengan jujur selama ini masih luput dari perhatian kita.
Fokus pada pemain yang terdiri dari para punggawa muda potensial yang diharap akan bersinar 2-3 tahun mendatang, gemblengan keras ala Korea menjadi menu harian mereka. Bukan hanya berlatih dengan keras dan sangat disiplin, baik teknik maupun fisik, bahkan hingga kesenangan dan makanan pemain harus menyesuaikan dengan disiplin Shin Tae-yong.
Bagi anak-anak muda Garuda mungkin merasa kebebasan masa muda mereka sejenak terenggut, mulai jam tidur, bangun dan istirahatnya pun diatur. Pola makan dikontrol ketat, bahkan hingga makanan kesukaan apalagi gorengan harus mereka tinggalkan dan harus mengikuti aturan pelatih.Â
Semua konsumsi makanan harus nutrisi yang bergizi dan berprotein demi mencapai target lemak tubuh ideal pemain sepakbola yang 6-12% saja. Dan semua proses itu dijalankan dengan penuh disiplin oleh pemain, dan hasilnya bisa kita lihat, meski secara usia pemain kita masih relatif muda, namun aura kelebihan mereka telah nampak, hanya menunggu waktu saja kapan mereka akan matang.
Terhitung sejak Piala AFF Suzuki Cup (Dulu Piala Tiger) pertama kali digulirkan tahun 1996, Timnas Indonesia tercatat telah berganti pelatih sebanyak 25 kali, ini artinya jika dirata-ratakan hingga 2021 Timnas Indonesia berganti pelatih setiap tahun. Bagaimana bisa berprestasi?
Kebanyakan pelatih Timnas merah putih ini berasal dari negara di kawasan Eropa maupaun Amerika Selatan seperti Bernard Schumm (Jerman), Ivan Kolev (Bulgaria), Peter Withe (Inggris), Wim Rijsbergen (Belanda), mendiang Alfred Riedl (Austria), Pieter Huistra (Belanda), serta Luis Milla (Spanyol), dan Simon McMenemy (Skotlandia). . Selain itu terdapat juga nama Luis Manuel Blanco (Argentina), dan Jacksen F. Tiago (Brasil). Shin Tae-yong merupakan pelatih asal Asia pertama yang mengarsiteki Timnas Indonesia.
Secara umum kemampuan dan hasil yang ditunjukkan oleh Shin Tae-yong cukup bisa diterima oleh masyarakat pecinta bola nasional dan juga oleh otoritas sepakbola Indonesia. Namun demikian, tentu sebagai manusia biasa Tae-yong juga memiliki kekurangan, dan sebagaimana yang saya lihat in my humble opinion bahwa kekurangan/kelemahan Shin Tae-yong adalah:
1.Belum mengetahui karakter pemain bola Indonesia serta kompetisi sepakbola Indonesia. Ini sangat berpengaruh pada strategi yang diterapkan oleh Shin Tae-yong di lapangan.
Shin Tae-yong yang berpengalaman melatih klub dan Timnas Korea Selatan, dengan pemain-pemain yang meskipun masih berusia muda tapi telah ditempa menjadi matang secara emosi dan karakter di klub dan kompetisi level tinggi Korea, sehingga sedinamis apapun perubahan strategi yang diterapkan pelatih pemain dapat langsung mengadaptasikannya, berbeda dengan karakter pemain kita. Kompetisi lokal kita yang masih belum punya format baku, kualitas kompetisi lokal kita juga masih belum bisa diharapkan memberikan kontribusi terbaik bagi pemain, seperti misalnya penerapan aturan dalam pertandingan (wasit) sesuatu yang di Indonesia dianggap bukan pelanggaran, namun di kompetisi resmi Internasional dianggap merupakan pelanggaran.
2. Shin Tae-yong terlalu berani dan percaya diri. Ini sebenarnya suatu sikap yang baik, jika bisa diikuti oleh para pemainnya, sayangnya kematangan pemain-pemain asuhan STY belum mampu sepenuhnya mengikuti irama pelatih.Â
Ini terlihat dari keberanian STY membawa skuad muda di gelaran turnamen paling bergengsi di Asia Tenggara AFF Suzuki Cup 2020, membawa pemain muda untuk diperhadapkan dengan lawan senior adalah suatu keberanian yang berisiko gagal.Â
Tae-yong juga terlihat berani membongkar pasang pemain dan formasi, terbukti dalam ajang AFF kemarin, Timnas Garuda tidak punya komposisi formasi The winning team.
3. Shin Tae-yong terlalu sopan. Ini juga sebenarnya adalah sesuatu yang positif, Â Shin Tae-yong yang begitu teguh tentang etika, padahal dalam sepakbola bermain "nakal" kadang sangat diperlukan untuk merusak konsentrasi lawan serta bisa juga untuk menaikkan moral tim.
Belum ada pemain Shin Tae-yong yang terlihat bermain "keras", karena rata-rata tipikal pemain pilihan Tae-yong bertipe stylish, yang paling lugas (belum sampai keras) di skuad andalan Tae-yong adalah Dewangga dan Fachruddin serta Asnawi, namun keras mereka itu belum sampai keras provokatif yang bisa memancing dan merusak emosi lawan.
Secara garis besar, dengan melihat performa Timnas dengan segala kelebihan dan kekurangannya maka mempertahankan Shin Tae-yong untuk tetap menukangi Timnas Indonesia adalah suatu keharusan, mari kita hargai proses yang sedang dibangun oleh STY, persoalan hasil dan prestasi dengan sendirinya nanti akan mengikuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H