Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Child Free Itu Bukan Pilihan, tapi "Phobia"

31 Agustus 2021   08:03 Diperbarui: 31 Agustus 2021   08:14 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak habis pikir dan takhabis mengerti, mengapa ada orang yang memutuskan untuk hidup berpasangan namun tidak ingin memiliki anak.

Secara kodrati salah satu tujuan hidup adalah memiliki keturunan, apakah itu melalui jalan dengan ikatan perkawinan ataupun tidak.

Dalam sebuah perkawinan, terlebih dalam budaya kita, doa utama yang dipanjatkan untuk kedua mempelai adalah perkawinan yang sakinah, mawaddah, warahmah dan dikaruniai anak keturunan yang shalih shalihah (dengan redaksional doa sesuai keyakinan masing-masing).

Bahkan dalam sebuah perkawinan, tidak jarang timbul badai dalam rumah tangga yang disebabkan oleh belum adanya keturunan, keharmonisan menjadi terganggu bahkan banyak yang berakhir dengan perpisahan.

Pernikahan dengan pilihan child free, menurut hemat saya tidak bisa dipandang sebagai sebuah pilihan atau hak dari setiap individu yang menjalaninya. Ini bisa jadi merupakan sebuah sindrom kejiwaan atau semacam phobia yang dialami oleh pelakunya.

Apapun alasan yang mendasari pengambilan keputusan untuk memilih child free, itu bisa disimpulkan lahir dari ketakutan/kekhawatiran yang berlebihan atau bahkan phobia. 

Dan bisa jadi merupakan akumulasi pengalaman hidup pelakunya yang pernah mengalami trauma yang tidak mengenakkan berkaitan dengan kehidupan anak-anak.

Bisa jadi pengalaman semasa kecil dalam keluarga yang dialami seorang anak, begitu membekas bagaimana repot, rumit dan segala macam bentuk yang tidak mengenakkan yang terakumulasi menjadi sebuah trauma kejiwaan yang tidak ingin diulang atau dialami si anak semuanya lalu ditekan ke dalam alam bawah sadar. 

Pengalaman traumatis masa kecil itu bisa saja pada akhirnya menjadi ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi tertentu, salah satunya adalah ketakutan memiliki anak. Dan sama dengan phobia-phobia yang lain, ini tentu saja bisa diterapi jika pengidapnya sadar dan mau.

Yah, sekali lagi in my humble opinion, child free ini adalah sebuah phobia yang harus diterapi  dan bisa diterapi, hanya saja karena ini sifatnya keputusan individual yang tidak merugikan orang lain. Sehingga pengidapnya tidak merasa bahwa ini sesuatu yang salah, apalagi harus mengobatinya.

Kebanyakan dari kita terjebak dalam pandangan bahwa ini adalah hak asasi, pilihan pribadi yang harus dihormati. Apalagi jika kedua pasangan yang menikah itu sama-sama menghendaki hal tersebut. Dunia memang sudah semakin tua dan semakin sempit sehingga tidaklah mengherankan jika orang penganut child free itu bisa saling bertemu dan memutuskan untuk menikah.

Namun sepanjang perjalanan hidup saya yang telah lebih setengah abad ini, belum pernah bertemu pasangan yang menganut child free ini, kecuali ada satu yang saya kenal pasangan yang juga memilih child free. Tapi keputusan pasangan ini untuk child free bukan datang dari kedua pasangan, tapi datang dari sang istri.

Kenalan saya ini adalah orang Indonesia, anak seorang berada yang bisa mengenyam pendidikan hingga ke Amerika Serikat, saat berada di Amerika itu ia akhirnya berjodoh dengan istrinya sekarang dan memutuskan untuk menikah. 

Mereka menetap di Amerika apalagi kenalan saya ini telah mendapatkan green card, dari pernikahan mereka satu syarat dari sang istri adalah "child free", yah sang istri tidak mau mempunyai anak, menurut kenalan saya sang istri tidak mau direpotkan dengan urusan anak-anak yang menurutnya teramat sangat "rumit". Sebagai suami yang mencintai istrinya ia terpaksa menurut saja.

Memiliki keturunan adalah tujuan kodrati setiap mahluk, terlebih lagi manusia. Penting dan perlunya keturunan itu juga diadaptasi di dalam agama-agama manapun. 

Meski mempunyai keturunan bukanlah kewajiban, tapi dalam ajaran agama apapun tujuan hidup berpasangan atau perkawinan itu adalah untuk mendapatkan keturunan dan wajib untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak keturunan itu agar menjadi insan yang terpuji.

Jadi selain sebagai sebuah penyakit kejiwaan, child free ini juga sebagai wujud pasangan yang tidak bisa bertanggungjawab dengan kewajiban kodratinya sebagai manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun