Kebanyakan dari kita terjebak dalam pandangan bahwa ini adalah hak asasi, pilihan pribadi yang harus dihormati. Apalagi jika kedua pasangan yang menikah itu sama-sama menghendaki hal tersebut. Dunia memang sudah semakin tua dan semakin sempit sehingga tidaklah mengherankan jika orang penganut child free itu bisa saling bertemu dan memutuskan untuk menikah.
Namun sepanjang perjalanan hidup saya yang telah lebih setengah abad ini, belum pernah bertemu pasangan yang menganut child free ini, kecuali ada satu yang saya kenal pasangan yang juga memilih child free. Tapi keputusan pasangan ini untuk child free bukan datang dari kedua pasangan, tapi datang dari sang istri.
Kenalan saya ini adalah orang Indonesia, anak seorang berada yang bisa mengenyam pendidikan hingga ke Amerika Serikat, saat berada di Amerika itu ia akhirnya berjodoh dengan istrinya sekarang dan memutuskan untuk menikah.Â
Mereka menetap di Amerika apalagi kenalan saya ini telah mendapatkan green card, dari pernikahan mereka satu syarat dari sang istri adalah "child free", yah sang istri tidak mau mempunyai anak, menurut kenalan saya sang istri tidak mau direpotkan dengan urusan anak-anak yang menurutnya teramat sangat "rumit". Sebagai suami yang mencintai istrinya ia terpaksa menurut saja.
Memiliki keturunan adalah tujuan kodrati setiap mahluk, terlebih lagi manusia. Penting dan perlunya keturunan itu juga diadaptasi di dalam agama-agama manapun.Â
Meski mempunyai keturunan bukanlah kewajiban, tapi dalam ajaran agama apapun tujuan hidup berpasangan atau perkawinan itu adalah untuk mendapatkan keturunan dan wajib untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak keturunan itu agar menjadi insan yang terpuji.
Jadi selain sebagai sebuah penyakit kejiwaan, child free ini juga sebagai wujud pasangan yang tidak bisa bertanggungjawab dengan kewajiban kodratinya sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H