Radikalisme yang bernuansa agama masih saja marak terjadi di negeri ini. Hal ini tentu saja membuat sebagian besar orang mengaitkannya dengan masalah agama, walaupun oleh pemerintah sendiri dan juga tokoh-tokoh agama menolak keras bahwa radikalisme ini berhubungan dengan agama.
Memang betul dan tak dapat dipungkiri bahwa doktrin radikalisme yang terjadi itu berdasarkan keyakinan agama tertentu yang dalam hal ini adalah Islam.
Tapi apakah betul Islam sebagai agama membenarkan perilaku radikal?. Tentu saja jawabannya adalah tidak dan bahkan radikalisme dalam Islam itu adalah "haram".
Dengan argumentasi apapun adalah perbuatan tolol dan idiot untuk mengaitkan antara radikalisme dengan Islam. Bagaimana mungkin sesuatu yang diharamkan oleh Islam bisa dikatakan sebagai ajaran Islam?.
Bagi saya fenomena radikalisme ini bisa saya sebut sebagai "agamadiot", alias ketololan beragama, ini tidak ada hubungannya dengan agama tapi ini bersifat personal atau kualitas pribadi penganutnya yang dipengaruhi oleh beragam faktor.
Pelaku agamadiot ini bisa siapa saja, bisa kaum cendikiawan, bisa Agamawan, atau bisa juga orang biasa, bahkan penjahat bisa juga terkontaminasi penyakit agamadiot ini.
Fenomena agamadiot ini tidak jauh berbeda dengan fenomena aktual yang kita hadapi saat ini yaitu "covidiot". Kita hampir setiap hari menyaksikan, mendengar bahkan mungkin juga melakukan tindakan covidiot itu yang tidak menganggap serius Covid-19 dan risikonya, terlepas dari apa yang dikatakan pejabat pemerintah dan komunitas kesehatan global.
Betapa dunia internasional, sudah nyata-nyata kelimpungan menghadapi pandemi covid-19 ini, kita di dalam negeri masih banyak yang ngotot bahwa ini adalah rekayasa. Banyak hoaks dan juga pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif terhadap upaya pemerintah memutus mata rantai penyebaran virus covid-19 ini.
Pelaku covidiot inipun berasal dari golongan mana saja, ada cendikiawan, Agamawan bahkan politikus dan ahli medis pun ada yang bersikukuh dengan keidiotan mereka terhadap upaya memutus penularan covid-19.
Satu lagi "idiot" yang kental dan sukar dimengerti di masyarakat kita adalah yang saya sebut dengan fenomena "alkoholidiot", perilaku tolol berpesta miras sekaligus uji nyali menenggak minuman tak lazim yang taruhannya nyawa atau setidaknya cacat.Â
Yah fenomena alkoholidiot yang sering kita saksikan adalah korban tewas akibat menenggak minuman oplosan, yang terbuat dari alkohol non konsumsi (methanol) dengan kadar alkohol 70-90%, yang dicampur minuman energi, lotion anti nyamuk dan bahan-bahan tidak masuk akal lainnya.
Kejadian jatuhnya korban massal, sudah berulang kali, jumlah korban tewas akibat mengkonsumsi minuman oplosan ini sudah tak dapat dihitung lagi, tapi masih saja terus terjadi, selalu saja ada orang-orang berani mati yang seperti cuek dan tanpa rasa takut sedikitpun dengan bahaya dari minuman oplosan itu.
Radikalisme, covid-19 dan minuman oplosan telah menciptakan fenomena baru yang membuat kita prihatin, marah dan yang pasti kita tidak akan habis pikir kenapa ada orang-orang "idiot". Orang-orang yang sebenarnya berakal tapi tertipu dengan hawa nafsunya
Apakah agamadiot, covidiot dan Alkoholidiot ini adalah sejenis syndrom yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, atau syndrom yang terbentuk oleh lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, itu masih tanda tanya, namun yang pasti ini sangat meresahkan dan akan menjadi persoalan serius bagi bangsa ini baik sekarang maupun nanti.
Dari ketiga fenomena ini sepertinya ada satu benang merah yang menjadi sumbu bagi tercetusnya perilaku idiot ini, entah itu apa, namun yang jelas harus menjadi perhatian kita bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI