Di era modern saat ini sepak bola bukan hanya sekedar olahraga saja. Sepak bola harus berkembang menjadi sebuah industri, sehingga sepakbola dapat menjadi bisnis yang cukup menjanjikan bagi klub-klub yang tentu saja harus memiliki kekuatan finansial.
Demikian pula halnya dengan sepak bola Indonesia  kini sudah mulai bergerak maju menjadi sebuah industri besar sepak bola. Sebagai industri tentu saja sepak bola akan memberikan dampak ekonomi bukan hanya pada klub saja, tetapi juga memberikan penghidupan kepada ratusan bahkan ribuan orang yang berada di sekeliling klub.
Tapi geliat sepakbola kita yang baru mulai merangkak menuju ke industri sepakbola, harus mendapat tekanan yang sangat berat, Â masalahnya apalagi kalau bukan pandemi covid-19.
Liga 1 yang seharusnya bergulir di bulan Februari 2020 lalu, hingga kini belum kunjung bergulir terkait izin yang tidak diberikan, karena alasan covid-19, setelah beberapa kali mengalami penundaan, terakhir rencana Liga 1 akan digulirkan di Februari 2021, itupun masih dalam ketidakpastian baik itu menyangkut perizinannya nanti maupun mengenai format kompetisi yang akan dipakai.Â
Apakah melanjutkan kompetisi musim 2020-2021 sebagaimana yang banyak diinginkan oleh klub peserta atau memulai kompetisi baru musim 2021-2022.
Sebenarnya sebagaimana di liga-liga negara lain yang sudah berputar dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat dan tentu saja dengan tanpa penonton. Liga 1 juga sudah seharusnya memutar roda kompetisinya, tapi apa lacur kesiapan finansial klub-klub peserta Liga tidak semuanya mampu jika hanya mengandalkan pemasukan dari hak siar, penghasilan utama klub-klub Liga 1 masih diterima dari penjualan tiket pertandingan.
Kevakuman kompetisi akan semakin menenggelamkan prestasi sepakbola kita, tapi memaksakan memutar roda kompetisi akan memberi dampak yang jauh lebih buruk lagi.
Di tengah kekurang mampuan klub dalam membiayai operasional klub, apalagi dalam kondisi force majeur seperti halnya pandemi covid-19 ini, berputarnya roda kompetisi berarti berputarnya juga perekonomian masyarakat, bukan saja pemain, pelatih tapi juga official dan staf klub serta orang-orang yang berkaitan dengan klub, seperti penjualan merchandise misalnya.
Saya terusik dengan "keberanian" manajemen klub Tira Persikabo yang pada awal akan bergulirnya Liga 1 2020, Persikabo berani menggandeng sponsorship dari operator judi online SBOTOP, dimana pada Jersey yang dikenakan oleh Tira Persikabo akan terpasang logo SBOTOP secara mencolok.
"Dengan senang hati kami mengumumkan SBOTOP sebagai sponsor resmi dari Persikabo 1973 di musim 2020 Liga 1 Indonesia. Kerja sama ini mewakili misi kami untuk memperkuat brand SBOTOP di Indonesia," tulis Tira Persikabo via Twitter.
Untung saja PT Liga Indonesia Baru (LIB), sebagai operator Liga 1 dan Liga 2 Indonesia, mengeluarkan aturan yang melarang klub peserta Liga untuk menjalin kerjasama dan menerima sponsor dari situs judi, seperti juga dari perusahaan minuman beralkohol dan perusahaan rokok.
Larangan itu dituangkan dalam surat bernomor 103/LIB/II/2020 perihal Penegasan Implementasi Peraturan Nasional Terkait Sponsor Industri Olahraga yang ditandatangani oleh Direktur Utama PT. LIB Cucu Somantri pada Selasa, 25 Februari 2020.
Jangan sampai dengan melihat kondisi industri sepakbola kita yang bagai kerakap hidup di batu hingga ada pemikiran "gila" tentang bagaimana industri sepakbola Indonesia bisa survive bahkan bisa lebih dinamis yakni dengan menggandeng "operator judi" ke dalam sponsorship Liga, sebagaimana yang pernah coba ditempuh oleh klub Persikabo tersebut. Tentu ini merupakan ide yang sangat tidak populer, bahkan cenderung akan menjadi pro kontra berkepanjangan.
Aturan tentang judi di negeri ini sudah sangat jelas, diharamkan tapi aturan terkait sponsorship dari industri operator judi belum ada, mungkin ada celah baik dari sudut pandang hukum maupun sudut pandang sosial budaya dan agama yang bisa "dikompromikan".
Di kompetisi sepakbola liga Inggris, yang kerap dianggap sebagai salah satu kiblat sepak bola dunia, kaitan situs judi online dengan klub-klub sepakbola sangat kental. Menurut data, jumlah klub dalam dua kasta teratas kompetisi di Inggris ada sebanyak 27 klub dari 44 klub (hampir 60 persen) disponsori perusahaan judi.
Fakta itu sempat memicu keprihatinan. Mantan bos Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA), Mark Palios, menyebut kaitan perusahaan judi dan klub sepak bola "sudah terlalu jauh". (Dikutip dari Tempo)
Operator judi bola online seperti SBOBET, 365BET, SBOTOP, Mansion88 dan banyak lagi situs judi online begitu atraktif melakukan bisnisnya, meski di banyak negara termasuk Indonesia bisnis judi adalah sesuatu yang dianggap ilegal, namun tentu ada juga negara yang melegalkannya.Â
Dari data yang ada bahwa 60 persen transaksi judi online terjadi di Asia termasuk di Asia tenggara dengan basis di Filipina, dan di Indonesia juga tak terkecuali bisnis judi online ini cukup marak, bahkan isunya salah satu operator judi online terbesar dunia yakni Mansion 88 adalah milik konglomerat asal Indonesia.
Semoga saja kondisi pandemi covid-19, kelesuan perekonomian dan kevakuman kompetisi tidak menjadikan kita khilaf untuk menerima kerjasama sponsorship dengan perusahaan operator judi bola online.Â
Karena mudaratnya jauh lebih besar, bukan saja dari keharamannya tapi juga dari campur tangan mafia sepakbola yang sangat merusak sportifitas dan iklim kompetisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H