Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nostalgia Keceriaan Masa Kecil

6 Oktober 2020   06:38 Diperbarui: 6 Oktober 2020   13:48 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inibaru.id (sunatdimalang.blogspot.co.id)

Pagi ini sambil menikmati segelas teh hangat lengkap dengan pisang gorengnya, kulihat anak-anak ku sedang asyik dengan hp di tangan serius bermain game di hp-nya. 

Pikiranku langsung melayang mengingat masa-masa kecil dulu di Makassar, tepatnya di jalan. Bangau atau biasa juga disebut Ambon Camp serasa ada yang hilang, ada kerinduan yang tak terbeli untuk merasakan kembali masa-masa itu, paling tidak suasana seperti dulu itu bisa juga dirasakan atau dilalui oleh putra putriku, namun sayang, sepertinya itu sudah tidak mungkin lagi, hal-hal yang kami lakukan dulu sekarang ini justru telah menjadi hal yang aneh dan asing bagi anak-anak jaman now.

Kembali ke masa lalu, dahulu permainan kami itu berdasarkan musim dan juga momen. Ketika musim kemarau kami ramai dan seru bermain adu layangan dengan segala pernak-perniknya, mulai dari membuat layang-layang, meng"gallasa" benang (membuat benang gelasan) sampai dengan keseruan mengejar layang-layang "kepa' " (kepa' = putus), sebelum masuk ke musim hujan keseruan adu layang-layang beralih ke permainan layang-layang hias yang kami istilahkan layang-layang besar. 

Yang ramai di jamanku waktu itu layang-layang marra' atau merak, dengan ekornya yang panjang berwarna-warni seperti ronce yang berbunyi "kresek-kresek" karena tertiup angin, ada juga layangan ikan dan kupu-kupu, oh iya kami dulu hampir semua membuat sendiri mainan kami, sangat jarang kami membeli, kalau layangan kami habis dan belum sempat membuat, kami beralih menjadi paondang layang-layang kepa', atau pengejar layang-layang putus. 

Kalo musim layang-layang besar saya bisanya hanya membuat layang-layang model ikan, kalo layang-layang marra' agak repot dan sedikit ribet buatnya kalo sendiri, oh iya karena bahan utama layangan selain kertas adalah bambu, kebetulan di komplek rumah saya di jalan Bangau adalah pangkalannya gerobak penjual bambu jadi tidaklah sulit mencari bahan bambu meski itu juga harus beli, nah kalau pas kebetulan tidak ada uang untuk beli bambu maka mulailah aksi kreatif anak-anak jaman dulu yakni menyasar pagar bambu tetangga yang waktu itu masih banyak rumah yang memiliki pagar dari bilah-bilah bambu.

Membuat layang-layang bagi kami dulu bukan saja asal bisa membuat, tapi juga ajang menuangkan ide dan kreatifitas kami agar layang-layang buatan kami selain bisa dikenali dan punya ciri juga agar indah dan mudah dikendalikan, kalo pakai kertas minyak biasanya kami kombinasikan dengan penggabungan warna, kalo pakai kertas kue biasanya digambar, tapi kalo pakai kertas koran yah apa boleh buat yang penting bisa terbang dan bisa dipakai "mangngottong" atau menukik untuk menyambar layangan lawan.

Masuk musim penghujan kami asyik menikmati main hujan-hujanan, istilah kami mandi-mandi hujan tanpa takut sedikit pun terkena sakit atau demam, dan memang jarang kami itu sakit hanya karena bermain hujan, sambil bermain hujan kami juga main ban-ban, sambil berlari dan berlomba memainkan dengan lincah ban motor atau ban sepeda, tapi tidak pernah ban mobil, berat soalnya he he he...

Kadang juga kami turun di got besar (kanal) diseputaran kolam renang dan stadion Mattoanging untuk menangkap ikan bale Balang ("betik" bhs: Jawa), ikan mujair, ikan samelang (lele) dan juga gabus, yang banyak di got.

Tak kalah serunya kalau masuk momen bulan puasa, permainan kami juga berubah, biasanya main mercon, tapi merconnya bukan mercon yang dibeli tapi mercon yang kami buat sendiri yaitu mercon busi, kalo dekat-dekat lebaran main mariam (meriam) bambu.

Oh iya mercon busi, sesuai namanya adalah mercon yang terbuat dari busi yang bagian elektrodanya dibuang kemudian ditutup dengan baut yang sesuai dengan lubang pada busi, bautnya diikat pakai karet ban dan karet gelang dan ujung businya diberi rumbai rumbai dari rumput Jepang (entah darimana asal penamaan tali rafia menjadi rumput Jepang). 

Untuk membuat ledakannya, busi diisi dengan serbuk pentol korek api dan sedikit kertas korek api, lalu dibuang semakin tinggi jarak jatuhnya semakin keras bunyinya. 

Selain mercon dari busi, mercon juga kami buat dari terali atau jeruji ban sepeda/motor, dari kunci yang di jaman kami dulu itu kunci biasanya berlubang ujungnya, di situlah serbuk pentol korek api dimasukkan dan ditutup pakai paku lalu diledakkan, ada juga kami buat dari ujung isi pulpen yang terbuat dari Kuningan (sekarang sepertinya sudah tidak ada lagi isi pulpen Kuningan ini), tapi mercon ini meledakkannya tidak dibuang atau dilempar tapi disambung ke kayu lalu diketukkan ke lantai atau benda keras lainnya.

Kebiasaan kami kalo menjelang sahur dan setelah shalat subuh ramai membunyikan mercon busi ini, biasanya setelah shalat subuh ramai warga berjalan-jalan subuh, di sinilah kami anak-anak juga makin semangat main mercon busi, saking serunya dan ramainya orang, sering mercon yang dilempar jatuhnya bukan ke aspal tapi ke kepala orang, kalo sudah begini langkah seribu adalah solusinya, bubar main tapi besok lanjut lagi mainnya. 

Seringnya juga kalau bulan puasa kami jadi anak-anak usil yang suka menggoda dengan membuat keributan, dengan suara mercon, suara meriam bambu atau dengan suara teriakan, salah satu yang sering kami kerjain itu adalah tetangga yang bernama Daeng Mangung pokoknya kalau sudah ketemu kami "ta'buncilla' " (melotot) lagi mata beliau dan kamipun lari terbirit-birit sambil tertawa.

Dalam dunia kanak-kanak kami, sama dengan  ditempat lain ada orang-orang yang kami takuti, selain Daeng Mangung, ada juga Tante Eta dan Tante Lis, Tante Eta perawakannya agak kecil dengan mata seperti melotot terus, maaf saya tidak bisa menggambarkan secara vulgar demi privacy beliau namun yang jelasnya secara fisik jangankan anak-anak kecil yang sudah agak dewasa pun akan merasa "sedikit takut" demikian juga dengan Tante Lis perawakan beliau tinggi besar dan maaf karena beliau menderita penyakit diabetes sehingga kedua kaki beliau mengalami luka dan selalu terbungkus perban, ditambah wajah yang agak seram hingga penampilannya membuat anak-anak merasa takut.

Tante Lis ini kerabat dekat dengan penyanyi Broery Pesolima yang merupakan ponakan langsungnya. Kalau kedua orang tante ini sudah melarang kami melakukan sesuatu maka kami langsung "tassimbung" alias lari berhamburan tidak berani bicara sedikit pun.

Di jalan Bangau atau Ambon Camp kami tinggal dalam kerukunan yang utuh, kami hidup adem dan damai dalam keberagaman, di sana selain kami orang Bugis Makassar ada juga orang-orang suku Ambon, Manado, Sangir, Timor dan Toraja. Agama juga selain Muslim juga Katholik dan Protestan, tapi kami semua hidup rukun dalam arti yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun