Pagi ini sambil menikmati segelas teh hangat lengkap dengan pisang gorengnya, kulihat anak-anak ku sedang asyik dengan hp di tangan serius bermain game di hp-nya.Â
Pikiranku langsung melayang mengingat masa-masa kecil dulu di Makassar, tepatnya di jalan. Bangau atau biasa juga disebut Ambon Camp serasa ada yang hilang, ada kerinduan yang tak terbeli untuk merasakan kembali masa-masa itu, paling tidak suasana seperti dulu itu bisa juga dirasakan atau dilalui oleh putra putriku, namun sayang, sepertinya itu sudah tidak mungkin lagi, hal-hal yang kami lakukan dulu sekarang ini justru telah menjadi hal yang aneh dan asing bagi anak-anak jaman now.
Kembali ke masa lalu, dahulu permainan kami itu berdasarkan musim dan juga momen. Ketika musim kemarau kami ramai dan seru bermain adu layangan dengan segala pernak-perniknya, mulai dari membuat layang-layang, meng"gallasa" benang (membuat benang gelasan) sampai dengan keseruan mengejar layang-layang "kepa' " (kepa' = putus), sebelum masuk ke musim hujan keseruan adu layang-layang beralih ke permainan layang-layang hias yang kami istilahkan layang-layang besar.Â
Yang ramai di jamanku waktu itu layang-layang marra' atau merak, dengan ekornya yang panjang berwarna-warni seperti ronce yang berbunyi "kresek-kresek" karena tertiup angin, ada juga layangan ikan dan kupu-kupu, oh iya kami dulu hampir semua membuat sendiri mainan kami, sangat jarang kami membeli, kalau layangan kami habis dan belum sempat membuat, kami beralih menjadi paondang layang-layang kepa', atau pengejar layang-layang putus.Â
Kalo musim layang-layang besar saya bisanya hanya membuat layang-layang model ikan, kalo layang-layang marra' agak repot dan sedikit ribet buatnya kalo sendiri, oh iya karena bahan utama layangan selain kertas adalah bambu, kebetulan di komplek rumah saya di jalan Bangau adalah pangkalannya gerobak penjual bambu jadi tidaklah sulit mencari bahan bambu meski itu juga harus beli, nah kalau pas kebetulan tidak ada uang untuk beli bambu maka mulailah aksi kreatif anak-anak jaman dulu yakni menyasar pagar bambu tetangga yang waktu itu masih banyak rumah yang memiliki pagar dari bilah-bilah bambu.
Membuat layang-layang bagi kami dulu bukan saja asal bisa membuat, tapi juga ajang menuangkan ide dan kreatifitas kami agar layang-layang buatan kami selain bisa dikenali dan punya ciri juga agar indah dan mudah dikendalikan, kalo pakai kertas minyak biasanya kami kombinasikan dengan penggabungan warna, kalo pakai kertas kue biasanya digambar, tapi kalo pakai kertas koran yah apa boleh buat yang penting bisa terbang dan bisa dipakai "mangngottong" atau menukik untuk menyambar layangan lawan.
Masuk musim penghujan kami asyik menikmati main hujan-hujanan, istilah kami mandi-mandi hujan tanpa takut sedikit pun terkena sakit atau demam, dan memang jarang kami itu sakit hanya karena bermain hujan, sambil bermain hujan kami juga main ban-ban, sambil berlari dan berlomba memainkan dengan lincah ban motor atau ban sepeda, tapi tidak pernah ban mobil, berat soalnya he he he...
Kadang juga kami turun di got besar (kanal) diseputaran kolam renang dan stadion Mattoanging untuk menangkap ikan bale Balang ("betik" bhs: Jawa), ikan mujair, ikan samelang (lele) dan juga gabus, yang banyak di got.
Tak kalah serunya kalau masuk momen bulan puasa, permainan kami juga berubah, biasanya main mercon, tapi merconnya bukan mercon yang dibeli tapi mercon yang kami buat sendiri yaitu mercon busi, kalo dekat-dekat lebaran main mariam (meriam) bambu.
Oh iya mercon busi, sesuai namanya adalah mercon yang terbuat dari busi yang bagian elektrodanya dibuang kemudian ditutup dengan baut yang sesuai dengan lubang pada busi, bautnya diikat pakai karet ban dan karet gelang dan ujung businya diberi rumbai rumbai dari rumput Jepang (entah darimana asal penamaan tali rafia menjadi rumput Jepang).Â
Untuk membuat ledakannya, busi diisi dengan serbuk pentol korek api dan sedikit kertas korek api, lalu dibuang semakin tinggi jarak jatuhnya semakin keras bunyinya.Â