Bocah-bocah kecil dengan perut yang lapar itu, menekuk lututnya bersedekap menahan gigil, bersandar di emperan toko menatap hujan yang tak kunjung reda.
Pikiran mereka tak kosong, selalu penuh dengan tanya, bisakah menemui semburat jingga mentari pagi? sementara malam seperti enggan, mendekap tubuh mereka untuk terlelap dalam pelukannya.
Penderitaan telah merebus air matanya menjadi butiran-butiran dendam.
Di luar sana mereka yang perutnya kekenyangan, tertawa-tawa hingga terbatuk-batuk, berkelakar tentang hidup yang telah jadi budaknya.
Pikiran mereka penuh lelocon, tertawa melihat kelelawar yang kelaparan, tak mau lagi memakan buah ranum, yang menggantung di pepohonan.
Kesenangan telah mengubah pedulinya menjadi butiran-butiran debu.
Di sudut ruang rumah sakit, yang penuh tabung, selang dan lampu yang berkedip, seorang kakek menangis dalam diam, termegap-megap mencari udara yang pernah tak dianggapnya.
Penyesalannya tak terpikul, lembaran-lembaran perjalanan hidupnya, terbaca jelas di ujung nafasnya yang tinggal satu-dua, namun disadarinya ada satu kata, yang telah terhapus dari lembaran-lembaran itu.
Dicari...
Dicari...
Dan dicarinya....
Namun kata itu memang telah menghilang, ia tahu kata itu telah dikuburkannya dalam-dalam, tertimbun batu-batu ambisi, dan diujung nafasnya tersirat penyesalan, mengapa telah mengubur kata yang kini dicarinya, yaitu peduli....