Pernyataan menteri agama, Fachrul Razi soal anak good looking akhirnya berbuntut panjang, pernyataan yang memancing reaksi panas masyarakat dan bahkan hingga memanas ke gedung DPR. Pernyataan kontroversial Fachrul bukan sekali ini saja, tapi sejak awal diangkat jadi menteri Fachrul telah berulangkali melemparkan pernyataan yang memicu berbagai persepsi yang memanas, khususnya di kalangan umat Islam.
Kalau dalam dunia olahraga, apa yang dilakukan oleh Menag ini sudah layak dapat kartu merah atau diskualifikasi, seperti misalnya yang terjadi pada pemain Timnas Brazil yang bermain di liga Ukraina, Taison yang dikartu merah wasit karena membalas perlakuan rasial terhadap dirinya oleh suporter lawan. Demikian pula sama dengan yang terjadi pada petenis Novak Djokovic, yang didiskualifikasi dari turnamen grandslam US Open 2020, karena kesal tertinggal dari lawannya yang ia lampiaskan dengan memukul bola, yang tanpa sengaja mengenai official pertandingan.
Yah apa yang dilakukan oleh Taison dan Djokovic memang bukanlah dimaksudkan secara sengaja untuk menyakiti orang yang tidak bersalah, namun secara etik profesional olahraga, apa yang mereka lakukan adalah mencederai semangat olahraga itu sendiri, jadi sangat pantas diganjar kartu merah atau diskualifikasi.
Ah... Tapi Fachrul kan bukan sedang berada di lapangan olahraga, Fachrul sedang bermain di lapangan politik, jadi tidak ada kartu merah, tidak ada diskualifikasi, yang ada jalan terus goyang kiri goyang kanan seolah semuanya adalah wajar saja.
Blunder-blunder kontroversial seharusnya merupakan hal yang tabu didalam politik, karena politik itu tujuannya mengkondusifkan keadaan bukan malah menggaduhkan yang sudah tenang.
Sejak menjabat sebagai menteri agama, Fachrul Razi sudah berapa kali mendapat semprotan dari anggota DPR, terkait pernyataan-pernyataan kontroversialnya mulai dari pernyataannya tentang memasukkan bahasa Indonesia ke dalam doa, wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang di wilayah instansi pemerintah, sertifikasi dai, izin majelis taklim, dan pemulangan WNI eks ISIS, dan terakhir (semoga yang terakhir) soal anak good looking, yang hafidz Qur'an yang menjadi pembawa radikalisme.
Sebenarnya jika mau ditelaah dengan kepala dingin pernyataan-pernyataan Menag ini tidak "salah", apalagi kalau dikatakan sengaja menyerang Islam, pernyataan Fachrul Razi jika ditangkap dalam bingkai mencari solusi dari penanganan radikalisme adalah sah-sah saja sebagai sesuatu yang harus menjadi masukan. Hanya saja ini menjadi yang "sesuatu" karena hal yang dimaksud oleh Menag ini adalah wilayah atau tugas institusi lain.
Kalau seandainya Fachrul Razi adalah Menpan atau Menkopolhukum apa yang beliau wacanakan ini tentu tidak akan memancing kontroversi seperti ini. Tapi sayangnya beliau sebagai Menag dan kalau toh apa yang beliau wacanakan ada hubungannya dengan Kemenag, itu batasannya pada koordinasi saja, bukannya Kemenag dan Menag yang menjadi leading sektor dan terlihat grasak-grusuk sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas institusi lain, jadi ini akhirnya bisa dibawa sebagai komoditas politik.
Kemenag sebaiknya fokus saja pada pengarusutamaan moderasi beragama, merangkul dan meluruskan potensi-potensi radikalisme melalui pendekatan persuasif keagamaan, kalau urusan lainnya seperti aturan dan tindakan represif jika misalnya dibutuhkan itu biar diurus oleh institusi yang memang sudah ada untuk itu, jangan over lapping lah.
Keadaan pak Fachrul Razi ini bisa diibaratkan the right man on the wrong place and situations. Sama dengan Taison dan Djokovic orang yang baik tapi berada pada tempat dan situasi yang tidak tepat, mau berbuat baik tapi tidak sengaja melukai orang lain, konsekwensi logisnya adalah kartu merah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H