"Seperti apa kamu ingin diperlakukan oleh anak saat kelak kamu makin tua, begitulah kamu harus ingat bagaimana memperlakukan anak saat ia masih kecil," begitulah kata Pak Suami, tiap ia melihat saya kehilangan ide dalam menangani si kecil yang baru berusia dua tahun.
Ya, mau tak mau, "ceramah" dari Pak Suami memang membuat saya berpikir dan terdorong untuk mengiyakan. Apalagi meskipun sering pusing dan kering ide, so pasti belajar, menambah pengetahuan, menjadi sesuatu  yang tak bisa dibantah lagi sebagai bagian ikhtiar untuk bisa memberikan  yang terbaik untuk anak. Sebab entah kering tidaknya ide, seorang ibu tentunya ingin memberikan yang terbaik bagi buah hatinya.Â
That's why, memburu acara-acara diskusi menjadi pilihan saya di saat senggang, dan menyerahkan tanggung jawab mengurus anak kepada Pak Suami (karena pekerjaannya tak menuntut harus banyak di kantor).Â
Memenuhi kebutuhan nutrisi si kecil adalah kewajiban orang tua. Namun terkadang ada beberapa hal yang menjadikan orang tua memiliki pemahaman yang kurang tepat. Salah satu penyebabnya, Â kurangnya pengetahuan atas apa saja yang sebaiknya diberikan kepada si kecil di usianya, dan di sisi ini menjadi kekurangan Pak Suami yang lebih memercayakan urusan ini kepada saya sendiri.Â
Itulah kenapa kalo mendengar diskusi seputar anak, Pak Suami paling mendukung saya untuk ikut serta. Kebetulan lagi, acara-acara diskusi seputar keluarga menjadi diskusi paling saya sukai. Terbaru, saya ikut diskusi publik  diadakan bertepatan dengan Hari Anak Nasional.
Di acara tersebut, salah satu narasumber yaitu ibu Dra. Leny Nurhayanti Rosalin, MSc, Deputi Tumbuh Kembang Anak, Kementerian PPA, memaparkan bahwa keluarga memiliki peran pertama dan utama dalam menciptakan generasi yang selayaknya bisa tumbuh sehat, cerdas dan dilindungi. Lingkungan yang ramah anak menjadi faktor penting selanjutnya untuk mendukung pembentukan mental dan akhlak generasi Indonesia. Tahun 2045 nanti, anak-anak kita berada dalam usia produktif. Kemana arah bangsa ini, seperti apa kehidupan Indonesia kelak ada di tangan mereka.
Ada juga narsum lainnya, Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes, Dr. Eni Gustina MPH yang membahas masalah yang sudah sering kita dengar yaitu gizi buruk di Indonesia. Masalah ini diakibatkan tidak hanya oleh rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat tetapi juga minimnya tingkat pengetahuan akan kebutuhan nutrisi anak karena banyak iklan produk makanan dan minuman yang menyesatkan konsumen termasuk saya sendiri.
Selama ini, saya beranggapan bahwa susu kental manis itu termasuk susu juga, kandungan gizinya sama dengan susu murni biasa. Saya memiliki tetangga yang anaknya bertubuh relatif gemuk untuk anak seusianya. Ibunya bercerita bahwa anaknya rutin mengkonsumsi susu kental manis setiap hari, bahkan lebih dari 2 gelas dalam sehari. Waktu itu saya pikir mungkin hal itu wajar. Â Ternyata itu salah alias keliru! Susu kental manis memiliki kandungan yang justru membahayakan kesehatan anak karena tingginya kandungan lemak dan gula. Akibat yang mungkin timbul dari mengkonsumsinya adalah obesitas atau kelebihan berat badan dan penyakit diabetes.
Pemahaman keliru itu tentunya tidak datang begitu saja. Pada banyak tayangan iklan di televisi, susu kental manis ditampilkan sebagai susu yang layak diminum oleh anak-anak. Frekuensi penayangan iklan yang tinggi ini menimbulkan mindset di masyarakat bahwa susu kental manis adalah minuman yang aman dan bergizi. Padahal jika hal ini dibiarkan, dalam 20 tahun ke depan kesehatan anak-anak akan terancam dan menurunkan produktivitas mereka.
Mencegah hal ini berkelanjutan, Eni Gustina mengimbau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar lebih selektif menampilkan iklan di televisi guna tidak menimbulkan pemahaman yang salah di masyarakat. Hal ini dijawab oleh pembicara selanjutnya yaitu Dewi Setyarini, Komisioner KPI Pusat yang menjelaskan langkah yang perlu dilakukan adalah menyatukan persepsi tentang tayangan ramah anak. Apapun yang muncul di televisi harus dibuat dengan perspektif anak, termasuk iklan susu kental manis yang substansi sebenarnya bukanlah susu, namun disebut sebagai susu.
"Anak yang seharusnya diberi ASI, akhirnya sudah dikasih makanan macam-macam yang mengandung gula. Anak yang seharusnya diberi susu pertumbuhan, akhirnya diberi minuman susu kental manis dengan alasan praktis dan ekonomis. Disinilah peran rekan-rekan profesi kedokteran untuk terus mengedukasi masyarakat tentang asupan gizi yang perlu dan tidak baik untuk anak," jelas dokter spesialis anak ini.
Sebetulnya panjang pemaparan beliau dan para pemateri lainnya. Tapi segini yang paling nyantol di kepala, terasa lumayan memadai untuk membantu saya lebih hati-hati dalam urusan kebutuhan anak, terlebih terkait dengan makanan. Paling tidak, ke depan saya sendiri dapat lebih kritis mencari informasi agar tak terkecoh iklan. Sebab, memberi untuk anak tak cukup hanya mengikuti apa kata iklan, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H