Dulunya orang menyebut inilah harta karun yang tersembunyi. Sawah hijau membentang luas bagaikan permadani di kaki langit, desiran pantai, debur ombak, udara sejuk sambil ku dengar alunan gambus kecapi. Aku terlahir dan dibesarkan di negeri ini.
Tak disangka, datanglah bangsa Belanda dengan tanpa kami ketahui maksud kedatangannya. Semua masih berlangsung dengan baik, kurasa tak kan ada yang salah dengan keberadaannya disini. Kami tetap menjalani aktivitas seperti biasa, tanpa kami hiraukan keberadaan kelompok asing yang menetap di desa ini.
Hari berganti hari, gerak gerik mereka tampak mencurigakan. Aku tak berani berkutik sebab mereka asing bagi desa ini.
Dor! Tiba-tiba suara tembakan terdengar menggelegar.
Waktu terus berjalan. Hari semakin sore. Aku mendengar suara senjata api itu menggelegar semakin dekat
“TIARAP!” teriak satu kepada yang lain memberi tanda untuk waspada akan tembakan senjata api yang menerkam sasarannya. Seketika itu juga suasana yang tentram berubah menjadi kelam. Seluruh rakyat berlarian kian kemari di saat senja mencari perlindungan. Aku masuk ke rumah nenek, satu-satunya tempat yang dapat membuatku merasa aman dan nyaman tetapi kali ini tidaklah seperti yang biasanya ku rasakan.
“AYAAAHH!...”
“LARII! CEPAT BERLINDUNG!..” terdengar teriak kepanikan yang datang dari segala arah sekitarku. Jeritan insan-insan yang tak bersalah. Ketakukan terus menghantui kami. Seketika itu juga ketentraman musnah dan tak ada lagi ketenangan.
Belanda melakukan serangan senjata secara membabi buta. Tanpa memandang usia, tanpa memandang jenis kelamin, tanpa memandang ras maupun golongan, semua dibantainya tanpa hati. Satu demi satu insan tak bersalah berguguran.Curahan darah menyelimuti tanah bagai laut yang berwarnakan merah segar. Tak disangka akan adanya senja yang memilukan. Yang dirasakan hanyalah ketakutan, panik, kami tak tahu kemana kami harus melangkah pergi.
Belanda menyerbu satu-satunya rumah sakit di desa, tak lupa senjata api ada di tangannya. Tiga suster dan dua orang pasien tak bersalah terbujur kaku karena lontaran peluru Belanda.
Seorang pria terluka saat ia sempat melarikan diri dari rumah sakit itu menuju ke rumahku. Sungguh mengejutkan ternyata pria tersebut adalah kakak ku. Dengan kondisi berlumuran darah di tubuhnya dan berjalan tertatih tatih, untuk menyelamatkan dirinya. Rupanya peluru tidak mengenai jantungnya sehingga ia masih dapat bernafas walau tampaknya sangat sulit untuk menghirup udara sekali saja. Darahnya memenuhi lantai ruang tamu. Dengan segera ayah memberi pertolongan pertama dan membersihkan darah yang terlihat di lantai supaya tidak diketahui oleh militer Belanda. Tentara yang berada di rumah sakit kemudian segera meninggalkan desa tersebut dan pergi menuju markas besar mereka.
Tak lama kemudian datanglah rombongan tentara Belanda lainnya. Entah mengapa para tentara Belanda itu menginap di rumah kakek. Mereka memasak dan beristirahat. Mereka bertindak semena-mena dan bertindak sangat galak terhadap keluarga kakekku. Memasak ayam-ayam yang ada di kandang. Mengambil apapun yang mereka perlukan semaunya. Seluruh anggota keluarga di rumah itu tak ada yang berani melawan. Untung saja kakek mampu berbahasa Belanda. Sehingga komunikasi dengan tentara Belanda tersebut berjalan lancar.
Keesokan paginya, aku melihat para tentara Belanda tersebut pergi meninggalkan rumah kakek serta mereka meninggalkan desa kami. Sungguh suatu kelegaan yang ku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Tanpa menunggu waktu, aku bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi disana. Ku dengar mereka mengatakan telah ada lima korban yang dikubur.
Walau tak terdengar lagi hentakkan kaki bangsa Belanda, namun perih kami rasakan teringat akan tindakan tak berprikemanusiaan mereka terhadap kami itu. Tentu kami tahu semua insan akhirnya akan mati. Tak akan lagi memiliki harta yang disimpan. Namun bukan perampasan dan pembantaian yang layak kami terima. Sebagian dari kami telah gugur sebagai pahlawan. Darah tertumpah demi membela bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H