Pagi itu masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Matahari malu-malu menyelinap di antara tirai jendela, membangunkan Bayu dengan kehangatan yang tak pernah ia hargai sebelumnya. Namun, tidak ada suara ceret mendidih atau aroma kopi yang biasa menyambutnya di dapur. Rumah terasa kosong, dingin, dan sepi---persis seperti hatinya.
Sudah dua bulan sejak Sarah pergi. Dua bulan sejak istrinya, yang selama sepuluh tahun terakhir selalu berdiri di sisinya, akhirnya memilih menyerah. Bayu tak pernah mengira bahwa kata "cerai" yang diucapkan Sarah hari itu akan benar-benar menjadi kenyataan.
Dia duduk di sofa ruang tamu, mengamati bingkai foto pernikahan mereka yang masih terpasang di dinding. Wajah mereka berdua tersenyum bahagia di foto itu---sebuah kebahagiaan yang kini hanya menjadi kenangan. Ia meraih cangkir kopi yang kini selalu dingin sebelum sempat ia habiskan, lalu menatap ke luar jendela. Hatinya kembali dihantam oleh perasaan yang sama: penyesalan.
Bayu bukanlah suami yang sempurna. Ia tahu itu. Selama bertahun-tahun, ia sering kali lalai pada hal-hal kecil yang penting bagi Sarah. Lupa ulang tahun, datang terlambat saat makan malam, janji yang teringkari, dan kebohongan-kebohongan kecil yang lama-lama menggunung.
Sarah, di sisi lain, selalu bersabar. Ia memaafkan Bayu ketika dia lupa menghadiri acara keluarga. Ia tersenyum saat Bayu lupa membelikan hadiah ulang tahun yang sudah diingatkan berkali-kali. Ia bahkan memaafkan Bayu ketika ketahuan berbohong tentang lembur di kantor, padahal sebenarnya ia pergi bermain kartu dengan teman-temannya.
"Aku memaafkanmu, Mas. Tapi tolong, jangan ulangi lagi," kata Sarah saat itu.
Namun, Bayu mengulanginya. Lagi dan lagi.
Hari itu, Bayu pulang terlambat. Lagi. Sarah sudah menunggu di ruang tamu dengan tatapan yang sulit dibaca. Bukan marah, bukan kecewa. Hanya... lelah.
"Mas." Sarah membuka suara dengan tenang. "Kau tahu apa yang membuatku tetap bertahan selama ini?"
Bayu, yang baru saja melepaskan sepatu, hanya mengangguk lemah.