Sumber Gambar:Â
https://www.tiktok.com/@awbimaxreborn1
https://www.instagram.com/p/CrsFBsdLzuD/
Kritik merupakan hal yang sangat lumrah dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Semenjak dulu kritik terhadap pemerintah selalu ada, hanya saja bentuk atau cara orang mengkritik yang berbeda-beda.
Belakangan ini mulai muncul orang-orang yang mengkritik pemerintah dengan cara yang baru, yaitu dengan menggunakan media sosial. Beberapa orang ini antara lain adalah Bima yang mengkritik pemerintah daerah Lampung, lalu muncul lagi Vadya yang mengkritik Wali Kota Jambi untuk membela neneknya dari perusahan China dan mempertanyakan apakah Wali Kota Jambi mendapatkan suap. Sebelum dua orang tersebut ada juga BEM UI yang memposting di media sosial tentang penolakan UU Ciptaker.
Munculnya sosok anak muda yang mengkritik pemerintah di media sosial, mendapatkan banyak simpati dari pengguna media sosial lainnya. Bahkan pada kasus Bima, tak sedikit orang yang mendukung Bima ketika dia dituntut atas pelanggaran undang-undang ITE.
Mengkritik melalui media sosial menurut saya merupakan cara yang efektif, dimana argumentasi kita mendapat kesempatan yang lebih besar untuk didengar oleh orang yang lebih banyak daripada ketika melakukan demonstrasi di jalan-jalan. Dengan melakukan kritik melalui media sosial, kita semakin dimudahkan untuk mengumpulkan orang-orang yang sependapat dengan kita, untuk menuntut perubahan yang lebih baik kepada pemerintah.
Terlepas dari substansi kritik yang mereka sampaikan, peristiwa ini merupakan suatu langkah maju ke arah demokrasi yang ideal. Munculnya sosok seperti mereka diharapkan dapat mempengaruhi anak muda lainnya, dimana mengkritik pemerintah merupakan suatu "trend" yang dianggap keren. Setelah kejadian ini, mungkin akan muncul sosok Bima dan Vidya lainnya, yang mengungkapkan isi hati mereka terhadap pemerintah tentang apa yang mereka alami dan rasakan. Banyaknya anak muda yang mengkritik pemerintah akan meningkatkan pula kepedulian anak-anak muda terhadap keadaan sosial politik suatu daerah ataupun negara.
Di sisi lain akan muncul tantangan baru, dimana kita juga harus mentolerir bahwa tidak semua orang yang mengkritik memiliki kapabilitas untuk mengkritik dengan baik. Dalam mengkritik pemerintah tentunya diharapkan adanya argumentasi. Melontarkan kata umpatan saja bisa merupakan kritik yang sah-sah saja, tetapi apakah kita mau kalau kapasitas kita dalam mengkritik hanya sampai di mengumpat saja?
Dalam freedom of speech mengumpat bukanlah suatu perbuatan yang salah, tetapi menurut saya mengumpat tidak akan membawa kasus yang kita angkat ke arah suatu bahasan yang kritis. Ibarat orang tua yang mengajarkan anaknya berjalan, orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengkritik pemerintah dengan baik dan dapat menyajikan data-data yang akurat diharapkan bisa membimbing mereka yang belum baik dalam mengkritik.