Pertahanan dan keamanan negara yang stabil adalah salah satu wujud kedaulatan suatu negara. Jika ditilik secara historis sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia seringkali mengalami dinamika pasang surut dalam pertahanan dan keamanan negara.Â
Tantangan pertahanan dari dalam dan luar terus menggempur Indonesia. Namun pada akhirnya, semua dapat dilalui berkat rasa senasib sepenanggungan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan Ibu Pertiwi, hingga kini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gencarnya modernisasi menjadi persoalan baru bagi pertahanan keamanan nasional. Perkembangan iptek, khususnya alutsista, tidak bisa terhindarkan. Indonesia harus mengejar dan memperbarui teknologi alutsista yang dimiliki. Selain itu, dampak globalisasi membuka peluang baru bagi semua negara dunia untuk terjun ke persaingan pasar global. Indonesia yang memiliki posisi strategis sebagai poros maritim dunia menjadi salah satu pusat lalu lintas laut dunia.
Indonesia merupakan negara yang terletak diantara dua benua, yakni Australia dan Asia serta terletak diantara dua samudra, yaitu Hindia dan Pasifik. Indonesia juga menjadi negara anggota ASEAN dan pernah menjabat sebagai ketua ASEAN pada tahun 2023 lalu.
Polemik LCS, Sentrum Konflik Teritorial Laut Berbagai Negara
Konflik wilayah Laut China Selatan (LCS) menjadi polemik yang meresahkan bagi negara ASEAN, khususnya Indonesia. Dilansir dari Kompas.com., klaim nine-dash line yang ditegaskan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) lewat China Standard Map Edition 2023 mengundang perhatian beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei dan Indonesia.Â
Beberapa negara lain yang turut memprotes peta tersebut adalah Taiwan dan India. Selain itu, dalam peta keluaran terbaru Tiongkok ini, terdapat penegasan satu segmen garis tambahan sehingga menjadi ten-dash lines.
Dalam konteks geostrategis dan geopolitik, RRT mengupayakan klaim atas wilayah seluas 3,3 juta kilometer persegi ini karena kaya akan sumber daya alam laut terbarukan maupun non-terbarukan, serta menjadi lalu lintas kapal kargo dunia.
Klaim "sembilan garis putus-putus" Tiongkok dinilai bertentangan dengan  United Nations Conference Law of The Sea (UNCLOS) 1982, sebuah perjanjian laut internasional yang telah menjadi dasar hukum bagi pengaturan zona laut setiap negara dunia. Konflik ini menjadi runyam karena klaim RRT atas LCS saling tumpang tindih dengan wilayah teritorial laut negara lain.
Konflik LCS dapat dikategorikan konflik jangka panjang, karena setiap langkah resolusi dengan militer dapat mempercepat eskalasi konflik sehingga kondisi keamanan LCS dan wilayah negara sekitarnya tidak kondusif, sehingga perlu diselesaikan dengan melakukan soft approach berlandaskan pendekatan multidisipliner.
Kawan Indonesia dalam Konflik LCS
Dilansir dari Survei ISDS bersama Litbang Kompas terkait Konflik LCS, terdapat partisipan survei yang menginginkan keterlibatan negara-negara poros dunia. Terlihat dalam survei sebanyak 16.7% responden memilih Amerika Serikat sebagai mitra, 14.3% memilih RRT, dan 8.4% memilih Rusia. Namun mayoritas responden memilih ASEAN sebagai rekan Indonesia dalam penuntasan konflik LCS dengan persentase sebanyak 39.1% pemilih.
Indonesia adalah negara Gerakan Non Blok (GNB) berlandaskan politik luar negeri bebas aktif, sehingga tidak terikat dengan kekuatan dunia manapun. Hal ini menjadikan ASEAN pintu dan kunci Indonesia untuk berperan aktif dalam resolusi LCS. Forum ini dapat menjadi jembatan antar negara anggota ASEAN untuk berdialog dengan RRT.Â
Memperkuat soliditas dan sentralitas di internal ASEAN menjadi salah satu strategi awal, dengan menyatukan persepsi dan kebutuhan setiap negara anggota ASEAN yang wilayah teritorialnya mencakup hingga LCS.
Soft Approach Berlandaskan Pendekatan Multidisipliner
Meski dalam survei mayoritas responden memahami konflik LCS berkaitan dengan kedaulatan wilayah, ditemukan sebanyak 22% responden menganggap tidak terdapat ancaman dari luar. Hal ini menarik karena angka tersebut menjadi persentase terbesar kedua, yang dapat merefleksikan pemahaman responden terhadap konflik LCS.
Tentu pemahaman mendasar masyarakat Indonesia terhadap konflik ini menjadi modal awal untuk melakukan soft approach. Sinergi antara masyarakat dan aparat negara menjadi episentrum kekuatan sipil dan membentuk pertahanan semesta. Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (BAKAMLA RI) dapat menjadi corong informasi dan inisator dalam forum resolusi LCS, baik di lingkup Indonesia maupun ASEAN.
Upaya BAKAMLA dapat menjadi lebih masif jika berkolaborasi dengan stakeholder terkait, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Lembaga yang dapat menjadi target kolaborasi dari pemerintah adalah Kemenlu, Kemenhan, dan Kemenkopolhukam dan instansi pemerintah terkait, dengan didukung TNI Angkatan Laut, serta praktisi dan akademisi bidang pertahanan dan kelautan.
Lembaga non-pemerintah bidang pertahanan dan kelautan dan investor dapat menjadi pihak pendukung lain dalam suksesi kedaulatan LCS, salah satunya adalah Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS). Partisipasi kolektif dari setiap pihak yang terjaring dapat melahirkan forum dan gagasan yang sifatnya multidisipliner.
Pendekatan multidisipliner merupakan wujud integrasi dari berbagai macam keilmuan untuk menemukan solusi dari permasalahan yang kompleks. Kedaulatan LCS menjadi sorotan bagi banyak pihak, yang membutuhkan sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu, maka dari itu diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak dengan latar belakang berbeda.Â
Harapannya, perspektif terkait LCS dapat dipertimbangkan sebaik-baiknya, berdasarkan kebutuhan tiap-tiap sektor. Sektor ini dapat mencakup dari dimensi pertahanan dan keamanan negara, kemaritiman, ekonomi, politik, hukum, hingga sosial budaya.
Indonesia bersama ASEAN, Kolaborasi Tuntaskan Konflik LCS
Tujuan yang dapat tercapai apabila gerakan yang dimotori oleh BAKAMLA bersama ASEAN dan stakeholder terkait adalah membangun kesadaran masyarakat Indonesia dan ASEAN secara komprehensif sehingga dapat melahirkan gagasan. Aktualisasi gagasan tersebut dapat berupa proyek pengembangan bidang kemaritiman, pemetaan sumber daya alam LCS, hingga produk hukum yang mengatur kebutuhan setiap negara yang "kontak" dengan LCS.
Hal ini menjadi solusi pasti yang berdampak pada transformasi dari berbagai sektor bagi masyarakat sekitar daerah tersebut. Hal ini dapat mendorong okupansi masyarakat, khususnya nelayan Indonesia untuk melaut disekitar Laut Natuna Utara.
Ketika kekuatan sipil mulai bergerak dan menunjukkan okupansinya di wilayah LCS, momen tersebut dapat menjadi tolok ukur keberhasilan dalam soft approach. Karena pada dasarnya, pendekatan tersebut menjadi solusi apik untuk mencegah konflik meletus, dibandingkan dengan pendekatan militer, sembari proses diplomasi tetap berjalan.
Langkah solutif yang tepat menjadi pergumulan bagi setiap negara yang andil dalam konflik teritori LCS. Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4, Pemerintah Indonesia akan selalu mengedepankan cara-cara dialog dalam resolusi konflik LCS dengan menjunjung tinggi kedaulatan tiap-tiap negara yang terlibat didalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H