Apabila kontraktor telah menawarkan kepada perusahaan nasional dan tidak ada yang berminat maka kontraktor dapat menawarkan kepada pihak lain.
Afiliasi dan pengendalian
Afiliasi yang dimaksud adalah perusahaan atau badan lain yang mengendalikan atau dikendalikan salah satu pihak, atau suatu perusahaan atau badan lain yang mengendalikan atau dikendalikan oleh suatu perusahaan atau badan lain yang mengendalikan salah satu pihak.
Pengendalian memiliki makna kepemilikan perusahaan atau badan lain apabila perusahaan atau badan lain paling sedikit 50 % (lima puluh per seratus) dari saham dengan hak suara atau hak pengendalian atau keuntungan jika badan lain itu bukan suatu perusahaan.
Peraturan Pemerintah RI No. 3 tahun 1998 tentang bentuk hukum Badan Usaha Milik Daerah.
Berdasarkan pasal 2 dan pasal 3 dapat disimpulkan bahwa bentuk hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terdiri dari Perusahaan Daerah (PD) atau Perseroan Terbatas (PT).
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bentuk hukumnya Perusahaan Daerah (PD) tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur Perusahaan Daerah (PD) yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah jo Permendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bentuk hukumnya berupa Perseroan Terbatas (PT) tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan peraturan pelaksananya.
Pasal 4 menyatakan bahwa gubernur, bupati/walikotamadya dapat merubah bentuk hukum perusahaan daerah menjadi PT.
Berdasarkan pasal 5 diatur tentang perubahan bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dilakukan dengan cara :
1.Mengajukan permohonan ijin prinsip tentang perubahan bentuk hukum kepada menteri dalam negeri.
2.Menetapkan peraturan daerah tingkat I atau tingkat II tentang perubahan bentuk hukum badan usaha milik daerah dari perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas.
3.Pembuatan akte notaris pendirian sebagai perseroan terbatas.
Berdasarkan ketentuan pasal 6, pendirian Perseroan Terbatas (PT) diproses sesuai dengan ketentuan undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT).
Berdasarkan ketentuan pasal 7, perubahan bentuk hukum perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas, tidak merubah fungsinya sebagai pelayanan umum dan sekaligus tetap menjadi sumber pendapatan asli daerah (APBD).
Prinsip penyertaan berdasarkan paticipating interest :
Prinsip pertama
- Hak BUMD (PD maupun PT) participating interest 10%
- Hak participating interest ada pembatasan jangka waktu kesanggupan.
- Saham PT BUMD dapat dimiliki oleh pemda, PD, swasta, dan masyarakat.
- Saham terbesar (mayoritas) PT harus dimiliki oleh pemda atau PD.
Prinsip Kedua
- Ada bentuk lain participating interest menurut ketentuan pasal 33 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
- Hak participating interest BUMD sebagaimana perusahaan nasional lainnya merupakan hak prioritas sebelum hak pengalihan diberikan kepada perusahaan non afiliasi atau perusahaan selain mitra kerja dalam wilayah kerja yang sma.
- Penawaran dilakukan berdasarkan kelaziman bisnis.
Berdasarkan tinjauan dari perspektif hukum tegas dinyatakan bahwa participating interest dalam konteks industri perminyakan adalah merupakan suatu keharusan / kewajiban, kecuali apabila yang berhak tidak memanfaatkan atau tidak dapat menggunakan haknya sesuai dengan persyaratan-persyaratan hukum yang ditentukan oleh perundang-undangan maka hak tersebut dapat dialihkan pada pihak lain.
Pengaturan hukum yang demikian ini jelas bermaksud untuk memberikan sumbangsih bagi penguatan ekonomi lokal sebagai konsekuensi termanfaatkannya sumberdaya alam lokal tersebut oleh para investor.
Tetapi suatu hal yang menjadi persoalan adalah apakah pemerintah lokal (kabupaten/kota) yang wilayahnya dieksploitasi tersebut mampu sepenuhnya memenuhi persyaratan-persyaratan khusus dari segi modal yang harus diinvestasikan ?
Beberapa kasus menunjukkan fakta bahwa ternyata sebagian besar pemerintah lokal / daerah tersebut belum sepenuhnya mampu memenuhi persyaratan besaran modal yang harus diinvestasikan, karena itu biasanya Pemerintah Daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kemudian menggandeng perusahaan swasta untuk bersama-sama memenuhi kewajiban penanaman modal sebesar 10% sesuai dengan ketentuan hak participating interest tersebut.
Berdasarkan realitas tersebut menimbulkan konsekuensi penikmatan penghasilan/pendapatan melalui hak participating interest tersebut tentu harus berbagi keuntungan (penghasilan) antara BUMD dengan perusahaan swasta yang menjadi partner BUMD tersebut.
Dalam perspektif hubungan relasional dalam investasi melalui hak participating interest tersebut jelas bahwa walaupun Pemerintah Lokal / Pemerintah Daerah melalui hak tersebut seharusnya dapat menikmati hasil semaksimal mungkin, namun karena mereka dalam kaitannya dengan penanaman modal dalam memenuhi hak participating interest tersebut dilakukan secara ”patungan” dengan pihak swasta, maka konsekuensinya hasil yang diperoleh sebagai suatu pendapatan dari investasi tersebut tentunya juga harus rela berbagi dengan pihak swasta yang bekerja sama dengan BUMD tersebut.
Dalam konteks realitas yang demikian adanya harapan memperoleh tambahan pendapatan bagi Pemerintah Daerah melalui BUMD tidaklah mungkin dapat diperoleh secara maksimal. Lebih-lebih lagi dalam kenyataannya tidak jarang kepemilikan modal pihak swasta lebih besar daripada BUMD.
Hal ini adalah merupakan suatu kenyataan yang ironis, karena adanya pemberian hak melalui participating interest tetapi dalam kenyataan Pemerintah Daerah melalui BUMD tidak dapat memanfaatkan secara maksimal, dan kurang beruntungnya lagi karena disebabkan miskinnya kondisi ekonomi Pemerintah Daerah yang tidak mampu menyiapkan dana untuk memenuhi persyaratan hak participating interest sebesar 10% tersebut.
Kenyataan ini membawa konsekuensi besarnya pendapatan BUMD dari hasil investasi dalam hak participating interest tersebut akan relatif kecil, karena keuntungan tersebut harus berbagi dengan perusahaan swasta yang digandeng untuk memenuhi persyaratan permodalan dalam hak participating interest tersebut.
Sebagai akibat selanjutnya, maka sumbangan dari BUMD yang berinvestasi melalui penggunaan hak participating interest tersebut terhadap pendapatan daerah yang dapat disetor ke APBD adalah kurang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan daerah.
Inilah liku-liku implementasi dan segala konsekuensi ekonomisnya penggunaan hak participating interest yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Daerah melalui BUMD yang lagi-lagi disebabkan karena faktor kemiskinan daerah wilayah eksploitasi tersebut.
Kenyataan yang demikian merupakan suatu lingkaran setan bagi upaya penguatan kondisi ekonomi daerah wilayah eksploitasi bahkan tidak ada suatu terobosan strategis untuk memenuhi hak participating interest tersebut melalui suatu langkah inovatif dari Pemerintah Pusat, antara lain misalnya mencarikan jalan keluar agar daerah melalui BUMDnya dapat memperoleh suatu fasilitas pembiayaan melalui suatu mekanisme yang tidak memberatkan bagi BUMD antara lain misalnya dapat memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa bunga atau pinjaman lunak dengan bunga rendah untuk memenuhi kewajiban investasi dalam participating interest sebesar 10% tersebut.
Apabila dalam konteks hak participating interest tersebut, permasalahan yang dihadapi daerah tidak ada langkah pemecahan yang bijak dengan bantuan Pemerintah Pusat, maka hasil-hasil yang seharusnya dapat dinikmati dan sudah tinggal meraihnya justru akan dinikmati lebih besar oleh sektor swasta yang semakin jauh menyimpang dari semangat kebijakan pemberian hak participating interest bagi daerah yang diharapkan dapat menyumbang pendapatan daerah dan mendorong pembangunan daerah.
Semua hal tersebut apabila dikaitkan antara hak participating interest dengan implikasi ekonomi bagi peningkatan pendapatan daerah yang dapat menunjang pembangunan daerah, ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan.
Selanjutnya yang menjadi kerisauan yang mendasar adalah sejauh mana keberadaan industri perminyakan tersebut dampak positifnya pada daerah.
Semua pihak sudah mafhum bahwa industri perminyakan adalah industri yang berbasis high tech dan membutuhkan tenaga kerja yang memiliki skill / ketrampilan dan keahlian khusus. Sementara itu dalam banyak kasus wilayah tempat penambangan minyak dan gas bumi sering merupakan daerah rural / pedesaan atau paling tinggi merupakan daerah sub urban yang kondisi potensi penduduknya relatif miskin dengan pendidikan yang relatif rendah. Selain itu biasanya kondisi sarana dan prasarana wilayah juga sangat terbatas.
Ringkasnya, sulit dibayangkan terwujudnya suatu sinergi yang integrated antara kondisi daerah dengan kebutuhan sektor industri perminyakan.
Sehingga secara sederhana masih sulit dibayangkan keberadaan suatu industri perminyakan serta merta memiliki pengaruh yang sangat positif langsung bagi kehidupan ekonomi daerah dan kehidupan ekonomi masyarakat setempat.
Oleh karena itu ada baiknya kalau kita lebih bijak melihat perspektif dampak industri perminyakan terhadap pertumbuhan dan perkembangan daerah, agar kita tidak terlalu bermimpi tentang sesuatu perkembangan daerah yang demikian cepat, padahal dalam kenyataannya belum tentu demikian.
Catatan ini agar menjadi rambu-rambu kita untuk menetapkan suatu strategi pembangunan daerah yang lebih berwawasan luas yang lebih memungkinkan untuk dapat menunjang pembangunan daerah melalui berbagai kebijakan industrialisasi, terutama yang berbasis pada potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dalam perspektif lokal.
Walaupun demikian tidak dapat disangkal dengan keberadaan industri perminyakan di suatu daerah masih jugadapat memberikan multiplayer effect pada perkembangan daerah walaupun tidak terlalu
*Praktisi dan Pengamat Hukum Migas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H