perempuan itu tengah berdiri dipojok rumahnya,Sementara dua buah lilin kecil berdiri tegak bernyala tepat di depan arca Sang Bunda Tuhan. Ia sedikit mendongak,sehingga tatkala menangis, terlihat jelas air mata itu mengalir deras pada kedua pipinya yg tidak lagi terlihat muda ,Ia berdiri diantara dua kursi kayu bercat biru
Sesekali ia menghela nafas, sepertinya telah melalui tragedy besar atau kah seseorang sedang ia nantikan ataukah kehilangan seseorang yang ia cintai dalam hidupnya. Itu adalah kemungkinan besar yang bisa aku gambarkan tentang dia. Dan yang pasti aku tidak mendengar siapa yang sedang ia rapalkan dalam rintihannya itu. kesedihan itu telah melunturkan kedua bola mata ranumnya , dan seperti yang kau tahu aku paling tidak bisa menyaksikan wanita menangis apalagi tepat didepanku ,karena itu akan membuatku ikut menangis . Lalu jiwa nuragaku kembali memberontak dan bermaksud memberikan pundakku untuknya, sebagai tempat ternyaman bagi perempuan paruh baya itu , yah mungkin sedikit kuat untuk mengokohkan kakinya agar bisa berdiri teguh dihadapan Allah yang tengah iya rayu . Aku mencoba mendekatinya,tapi aku terhalang oleh isak tangisnya yang kencang sehingga aku mengurung niat tindakan terbaik daripada pencitraan . Ia memekik dalam sepi sepertinya sedang mengugat keberadaan Tuhan dalam doa. Aku jadi ingat peristiwa 1 bulan yang lalu telah meluluh- lantahkan perasaan ku, peristiwa itu seakan-sekan menciptakan plot baru dalam hidupku, perihnya seperti kembali menjadi konflik utama dalam sebuah novel yang aku adalah protagonisnya, dan alur itu tidak pernah membawa klimaks yang harapan akhirnya tercipta happy ending seperti dalam beberapa novel terlaris yang sering aku baca.
Ada kasih yang harus diberikan, begitu gumamku dalam hati yang berani siap menyapa wanita itu sebelum ia beranjak dari tempatnya itu ,namun tragisnya dua langkah sebelum sampai pada pojoknya itu, dengan tangan lembut iya mengayun jendela rumahnya itu hendak menutup ” Ada rencana dan kasih Tuhan yang tak bisa dikompromikan dengan manusia” tuturnya dengan wajah yang penuh sumringah.
Aku membatu, berdiri penuh bungkam .Lalu kembali penuh euphoria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H