"Karena kamu terus menghindar." Elang menunjuk tepat di hidungku.
"Aku?" Sekarang baru sadar kalau Elang sama sekali tidak menjauh tapi aku. Aku berpikir kalau dia marah sekali dan tidak mau berteman lagi. Sungguh bodohnya. Aku menepuk dahi dengan keras.
"Hey, apa yang kamu lakukan? Kamu merasa pusing?" Elang menyingkirkan tanganku yang masih ada di dahi lalu mengelus-elus sambil meniupnya.
Aku terpana dengan tindakannya itu. Hal sekecil ini bisa membuat beku. Elang perhatian sekali, boleh nangis karena terharu nggak ya. Duh malunya.
Sayangnya momen kemesraan ini harus berakhir karena ada yang membuka pintu. Kami berdua menjauh dengan kikuk. Elang berdehem beberapa kali untuk menenangkan diri.
"Makasih sudah mau menjaga adikku yang rewel dan bawel ini. Kamu pasti sangat repot. Dia kalau sakit selalu seperti itu. Aku pilih merawat pasien stroke dari pada merawatnya." Mas Bagus terus berbicara padahal aku sudah memberi kode agar dia berhenti mempermalukan di depan Elang.
Elang tertawa lepas membuatku menutup muka karena malu. Awas saja, kalau sudah sembuh pasti buat perhitungan dengan mas Bagus. Kakak tapi menjatuhkan martabat adiknya, apaan tuh.
"Nggak repot sama sekali. Gimana kalau besok aku bantuin lagi buat nunggu Elok?" Elang menawarkan diri dengan wajah bersinar-sinar bak matahari disiang hari.
"Wah boleh banget. Besok aku dinas malam. Kamu nginap ya," pinta Bagus.
"Beres. Pulang dulu ya," pamit Elang sambil melambaikan tangan.
"Hati-hati di jalan." Bagus balas melambai.