"Elok."
Aku tersenyum sekilas dan maju untuk mengambil kunci laci. "Lho kok kuncinya macet." gerutuku karena tidak berhasil membuka laci.
"Lok, kamu ambil kunci yang salah." Fahmi mengulurkan kunci nomor empat yang harusnya kuambil. Aku menepuk jidat pelan karena menyadari kesalahanku. Kebiasaan mengambil kunci nomor lima padahal sekarang aku duduk di nomor empat.
"Ceroboh."
Lagi-lagi aku hanya mencibir saja sambil tetap mengeluarkan peralatan laborat dari dalam laci. Aku melangkah untuk mengambil mikroskop yang ada di meja depan.
"Jangan salah lagi." Peringatan dari Elang membuatku mengurungkan niat mengambil mikroskop nomor lima. Cepat-cepat mengambil mikroskop yang benar lalu duduk.
Apa-apaan ini. Baru beberapa menit ada di sebelahnya malah dengar kata larangan terus menerus. Tau gitu mending dapat nilai jelek aja trus nggak ikut praktek. Tapi kalau tiap kali praktek kaya gitu terus pasti aku tinggal kelas. Aku harus tutup telinga. Masa bodoh dengan Elang. Anggap saja aku partner-an dengan cowok paling tampan di kelas. Tunggu dulu, bukannya Elang yang mendapat predikat itu.
"Hari ini kita akan praktek hitung eosinofil. Di sini siapa yang punya alergi?" Bu Weni melemparkan pertanyaan yang membuat aku was-was.
"Elok saja, Bu." Elang menunjukku disertai dengan serigai liciknya.
"Memangnya Elok punya alergi apa?" Bu Weni mendekati meja kami.
"Bukan alergi tapi cacingan. Lihat saja badannya yang kurus." Elang melancarkan serangan.