Mohon tunggu...
Christine Gloriani
Christine Gloriani Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pembaca yang belajar menulis

Pembaca yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ema Belajar Bersyukur

10 Desember 2018   06:18 Diperbarui: 10 Desember 2018   06:34 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : pixabay.com

"Ada apa, Nak? Kenapa kamu bersedih? Bukannya kamu baru saja bertemu dengan Maya, sepupumu si ayam hutan?" 

"Ema memang habis ketemu Maya, tapi bukan itu yang bikin Ema sedih." Ema menarik napas panjang.

Indung, induk ayam cemani mengamati Ema. "Kamu lapar?"

Ema menggeleng. Indung semakin bingung karena sekarang Ema memejamkan mata. 

"Ngantuk? Terus kenapa sedih?" tanya Indung.

Ema membuka mata lalu menatap induknya dengan mata berkaca-kaca. "Ema jelek ya, Mak?"

"Siapa yang bilang kamu jelek? Anak emak cantik kok."

"Eri, Mak," sahut Ema.

"Eri siapa? Dia beneran bilang kamu jelek?"

"Eri itu burung merak sahabat Maya. Tadi waktu Ema nyari rumah Maya, si Eri yang ngantar Ema. Dia juga mau ketemu Maya."

"Lho, dia kan baik mau ngantar kamu."

"Jadi gini ceritanya."

Indung mendekat agar bisa mendengar dengan jelas masalahnya.

...

Pagi-pagi sekali Ema sudah sampai di pinggir hutan. Dia mencari Maya, sepupunya. Sebenarnya Ema lupa di mana rumah Maya.

Dia melihat ada burung merak yang sedang mengembangkan ekor. Ema kagum melihat keindahannya.

"Wah, bulu ekormu indah sekali," puji Ema.

"Ya, ampun kagetnya. Kamu hantu atau ayam? Hitam banget." Merak itu melompat mundur ketakutan.

"Aku ayam, masih hidup," jawab Ema sambil tersenyum ramah.

Merak itu mendekat lalu menyentuh sayap Ema. "Beneran hidup? Kok semua tubuhmu hitam?"

"Aku ayam cemani. Seluruh tubuhku memang hitam, termasuk daging dan darahku."

"O, gitu." Merak mengangguk-angguk.

"Namaku Ema. Kamu tahu rumah Maya? Bisa minta tolong untuk menunjukkan jalannya," pinta Ema dengan sopan.

"Tentu saja. Aku juga mau ke rumah Maya. Kita jalan sama-sama saja. Namaku Eri."

Mereka berdua jalan bersama-sama tapi Eri tidak mau jalan terlalu dekat dengan Ema. 

"Pasti tidak enak memiliki tubuh yang hitam membosankan. Setahuku, ayam juga memiliki bulu yang beraneka warna seperti burung. Lihat buluku, sangat indah membuat hewan lain iri." Eri kembali membentangkan ekornya untuk pamer.

"Kalau pun ada yang berwarna hitam, pasti ada bagian tubuh lain yang memiliki warna selain hitam. Lihat dirimu. Aku nyaris pingsan karena ketakutan. Kalau malam pasti kamu nggak kelihatan." Eri memandang Ema dari cakar sampai ke jengger.

Ema juga memperhatikan Eri. Sepanjang sisa perjalanan dia hanya diam mendengarkan celoteh Eri.

...

Ema menghembuskan napas panjang setelah selesai bercerita. Dia menanti perkataan induknya.

"Seperti yang emak bilang tadi, Ema itu cantik. Kamu harus mensyukuri pemberian Tuhan. Dia memberi yang terbaik bagi masing-masing ciptaanNya."

"Terus, apa yang harus Ema syukuri?"

"Bersyukur karena diberi kecantikan yang lain dari pada yang lain. Tidak ada ayam yang memiliki tubuh hitam sepenuhnya seperti ayam cemani. Kalau malam tidak kelihatan jadi bisa terhindar dari binatang pemangsa." Indung memeluk Ema.

"Kita ini termasuk makhluk langka. Jumlahnya hanya terbatas."

Sekarang Ema sudah bisa tersenyum mendengar perkataan emak. Setiap makhluk hidup itu unik. Kita harus belajar bersyukur atas pemberian Tuhan.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun