"Halo, Fen. Kamu jadi berangkat sekarang?"Â
"Iya dong, Lin. Udah cuti nih,udah siap berangkat juga."Â
"Mas Ferdy juga sudah berangkat," keluh Linda.Â
Aku tersenyum, Linda pasti sedang merajuk sambil mengelus perutnya yang membuncit. "Sudah, tenang-tenang saja di rumah. Jaga kandunganmu, jangan sampai kecapekan."Â
"Iya juga sih, tapi pengen ikut. Kamu kapan pulang?"Â
"Sekitar seminggu lagi," ujarku.Â
Terdengar suara klakson tiga kali tepat di depan rumah. "Lin, aku tutup telfonnya ya. Jemputan sudah datang, berangkat dulu ya."
Buru-buru memutuskan sambungan sebelum Linda memberikan jawaban. Menarik koper dan secepatnya mengunci pintu.Â
"Buruan! Keburu malam!"Â
Nah, ini lah yang kuhindari, diomeli karena membuatnya lama menunggu. "Iya, bawel. Aku pamitan dulu sama istrimu."Â
Fendy turun dari mobil sambil meringis. Memberi pelukan ringan, tak lupa mengecup pipi kananku. "Dia juga merengek minta ikut padahal sudah kutolak." Meraih koperku dan memasukkannya dalam bagasi.Â
"Tapi kamu bisa bujuk dia supaya nggak ikut kan," ujarku sambil mengerling.Â
"Ya jelas berhasil. Buktinya dia ganti ngrengek ke kamu biar batal berangkat."Â
Aku tertawa geli, sahabatku itu memang manja dan nggak suka kalau ditinggal di rumah sendirian. Aku duduk di kursi depan karena kursi belakang sudah penuh dengan barang-barang.Â
"Kamu sudah sarapan belum? Nih, Linda bawain bekal. Kamu yang suapin ya." Fendy menyerahkan tempat makan yang berukuran sedang padaku.Â
"Beres. Wah udang goreng tepung, kesukaanku."Â
"Kesukaanku lah, kan aku suaminya," bantah Ferdy.Â
Aku mencibir. "Hak, buka mulutnya lebih lebar," pintaku sambil mendekatkan sesendok penuh nasi dan lauk.Â
Alunan lagu milik Westlife terdengar memenuhi mobil. Kami berdua bernyanyi bersama setelah menghabiskan bekal. Rasanya seperti kembali ke masa sekolah.Â
"Rest area sebentar. Aku ngantuk sekali," pintanya sebelum mobil berbelok untuk parkir.
Aku keluar dari mobil untuk meluruskan kaki. Berjalan-jalan sebentar di sekitar mobil semoga bisa menghilangkan rasa bosan. Udara semakin menusuk tulang. Lebih baik aku masuk ke mobil dan memakai selimut. Beruntung aku menaruh selimut-selimut itu di kursi belakang jadi tidak perlu membuka bagasi.Â
Selimut sebiru langit kubentangkan ke tubuh Ferdy sedangkan aku sendiri memakai warna kuning. Ini selimut favorit kami.Â
"Apa kamu sangat kedinginan? Butuh pelukan?" Ferdy membuka mata.Â
"Nggak nyaman kalau tidur di pelukanmu seperti itu." Pandanganku terarah pada jarah antara kursi kami.Â
"Ah iya, kalau saja tidak ada barang di kursi belakang pasti lebih nyaman buat tidur," ujarnya sebelum kembali menutup mata.Â
Satu jam kemudian kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami membicarakan banyak hal tentang masa kecil. Perjalanan terasa semakin cepat hingga gapura desa terlihat. Seminggu ini kami akan menghabiskan waktu di desa, berdua tanpa Linda.Â
"Sudah hampir sampai." Ferdy terlihat bersemangat.Â
Aku bahkan langsung meloncat turun ketika mobil berhenti di depan rumah mungil berlaman luas ini.Â
"Ibu!" teriakku sekeras mungkin.Â
"Fena, Ferdy. Anak-anakku tersayang." Ibu berlari menyambut kedatangan kami. Beliau memeluk kami berdua sekaligus seperti saat masih kecil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H