Mohon tunggu...
Christina Putri Aroma Ndraha
Christina Putri Aroma Ndraha Mohon Tunggu... Lainnya - Long life learner and dreamer

an Undergraduate Law Student who has interest in writing, social movement, law issues, and education.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Millenials si Branding Bangsa

29 Oktober 2020   19:03 Diperbarui: 29 Oktober 2020   19:18 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Rupa- rupanya suasana sumpah pemuda kali ini tak seheboh tahun- tahun sebelumnya. Namun bukan berarti semangat pemuda juga harus surut karena keadaan. Teringat sebuah kisah yang belakangan ini terjadi di banyak kalangan pemuda Indonesia atau akrab disebut millenials membuat saya ingin menuliskan tentang Millenials yang seringkali dipakai sebagai branding di tingkat pemerintahan Indonesia. 

Nasionalis tinggi dan politis, begitu kira- kira kriteria pemuda yang baik di masa Orde Lama. Tentu saja, jika Orde Lama memiliki standar untuk pemuda baiknya, maka Orde Baru pun telah tetapkan standarnya, "bermoral dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan". Lalu, bagaimana dengan masa sekarang? Masa dimana dua dekade pascareformasi telah berjalan, apa yang menjadi standar dari pemuda ideal Indonesia?

Saya teringat pada sebuah project sosial yang saya rintis bersama rekan saya waktu itu, tepatnya 2018 saat saya di bangku kelas 3 sekolah menengah akhir. GITAAKSARA Project namanya. Sama seperti program Indonesia Mengajar, yang datang ke daerah- daerah terpencil yang kurang teredukasi, kekurangan fasilitas dan perlu mendapat perhatian lebih. Disanalah awal bagi saya melihat secara nyata betapa memprihatinkannya kondisi kualitas pendidikan Indonesia saat ini. Tentu saja, rasanya ingin marah pada pemerintah. Tapi saya rasa, tak ada guna marah pada mereka yang bahkan enggan mendengar suara lain yang bukan kaumnya.

Satu pertanyaan yang waktu itu sangat menampar saya dan juga menguatkan langkah saya untuk terus ambil bagian dalam aksi perubahan kala itu, "Jika menunggu sukses baru membantu, emang kamu yakin akan hidup sampai besok? Kalau sekarang kamu mampu, kenapa ngga?. Woah, rasanya saya sudah hampir mendekati standar pemuda ideal Indonesia, bukan? Bak pemuda millenial yang menginspirasi melalui berbagai kegiatan sosial, mungkin seperti itu jadinya kalau saya lanjutkan project tersebut.

"songong amat anjir" Eits, tunggu dulu ini bukan tulisan tentang buku harian untuk ceritakan pengalaman saya, kok.

Kala itu, alih- alih ingin ambil bagian mengubah bangsa, saya bahkan belum mengetahui apa penyebab bangsa ini harus diubah.

Kembali ke standar pemuda ideal yang "bermoral dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan" itu sebenarnya sudah lama merosot pada tahun 2000. Dimana apatisme politik pun berjalan seiring merosotnya ekonomi. Seperti yang kita ketahui bersama, terdapat Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan yang begitu jelas menunjukan adanya perhatian pemerintah akan kualitas pemuda. Jangan lupa, bahwa ketika ada perhatian maka juga ada kekhawatiran yang jadi dorongan munculnya perhatian tersebut.

Keadaan mulai berubah, peningkatan optimisme pun terjadi di kalangan anak muda Indonesia. Kisaran tahun 2010, jumlah anak muda yang mengenyam pendidikan di luar negeri mulai melonjak. Data dari UNESCO pada tahun 2017, kurang lebih 46.000 anak muda di Indonesia mengenyam pendidikan di luar negeri, hingga mencapai setidaknya 89.000 di tahun ajaran 2018/19. 

Hal inilah yang mendorong munculnya optimisme millenial saat ini. Bukan hanya anak muda yang berpesta, kaum elite di pemerintahan pun mulai mengeluarkan sayapnya, dengan pemakaian konsep "melibatkan generasi millenial dalam pembangunan bangsa". "Asikk kan ya kaum elite dapet branding baru ahahah".

Pada akhirnya keluarlah hasil survey bahwa anak muda Indonesia ada pada tingkat optimisme yang tinggi. Bangga dong, ya. Setidaknya kita punya optimisme. Namun, itu semua bak kilauan diatas kertas survey semata. Lah trus persoalannya apa? Apa salahnya kalau kita punya optimisme yang tinggi ?

Persoalannya, kecerdikan strategi politik saat ini, juga menyerat optimisme pemuda kedalamannya. Dengan menciptakan millenial branding di dunia kaum elite dengan judul "peran aktif anak muda" atau semacamnya inilah yang mulai jadi kekhawatiran.

Jadi, optimisme tersebut tak hanya salah tempat. Ia juga berbarengan dengan toksik dalam kultur sosial-politik di Indonesia.

Menurut Paul K. Gellert (2015), dalam dekade kedua setelah reformasi, ideologi Indonesia berubah dari Pancasila yang nasionalis menjadi ideologi "neo-liberal kosmopolitan yang bersandar pada nostalgia nasionalisme." Nah loh!.

Indonesia seakan bagai taman bermain, para pemuda dari kota- kota menengah atas datang ke desa- desa terpencil bak pahlawan yang mencerahkan kehidupan. Seakan merasa bahwa telah temukan solusi dan jadi solusi untuk keterpurukan bangsa. Tentu saja, tak ada yang salah dari hal itu. Namun, salah ketika hal itu dijadikan gebrakan yang solutif dari permasalahan struktural yang ada.

Tak menyadari bahwa sebenarnya permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan kolektif yang tidak dapat diselesaikan dengan kesaktian individu. Persoalan struktural harusnya diatasi dengan solusi struktural pula. Seperti yang ditulis Gellert "Individu dianggap sebagai kunci untuk menanggulangi berbagai permasalahan bangsa." Walaupun program seperti Indonesia mengajar ini sama seperti pola pikir di era Sukarno yaitu top-down, dimana mereka menggiring kaum tertinggal untuk membawa mereka ke ruang modern.

Justru dengan hal tersebut dianggap sebagai solusi, kita semakin denial terhadap akar sebenarnya dari permasalahan ini.

Penduduk desa pinggiran yang digusur demi tambang, dibabat hutannya, dan dikorupsi dana pendidikannya tidak dapat "diselamatkan" oleh asupan inspirasi dari pemuda kota modern ataupun lulusan luar negeri. Permasalahan struktural membutuhkan penyelesaian struktural pula, bukan sekadar kebolehan individual.

Rakyat di desa seolah- olah difasilitasi dengan hal- hal yang tak dapat mereka miliki dan rasakan selama ini, tetapi pernahkah kita menengok sebenarnya apa yang menjadi penyebab mengapa mereka tertinggal selama ini?.

"Nasionalisme berkobar kuat di kalangan muda, tetapi "hampa" dan "rendah mutunya." Apabila dahulu nasionalisme mengacu pada semangat kolektif untuk bersolidaritas dan bergerak bersama, kini nasionalisme berubah jadi pepesan kosong soal bagaimana kita mesti "berkontribusi bagi bangsa."

Kegiatan tersebut mungkin terlihat apik di media sosial dan mungkin begitu menginspirasi kaum muda lainnya. Tetapi, setelah mereka pulang dan kembali ke kota, kaum terpencil akan tetap kembali pada keterpurukan mereka.

Kota pun tidak dapat ditawarkan sebagai solusi ketika kota itu sendiri yang justru jadi sumber malapetakan bagi mereka

Keterpurukan kaum terbelakang tak dapat diselamatkan oleh anak muda menengah atas yang datang bak pahlawan dan mengatakan "Sukses di usia muda? Kenapa tidak?". Hal itu tidak akan jadi solusi jika anak muda menengah atas hingga anak konglomerat yang menginspirasi itu justru jadi penguat kekuasaan oligarki dengan branding "millenial berperan aktif".

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, pada akhirnya permasalahan kolektif harus diselesaikan dengan solusi kolektif. Bukan dengan menjadikan kebolehan individu-yang menginspirasi-sebagai pahlawan dari semua itu. Sekali lagi, tidak ada yang salah dari membantu kaum terbelakang dan menginspirasi, memang itulah kewajiban kita sebagai manusia untuk terus bermanfaat bagi sesama dan selama kita bisa melakukan hal baik, kenapa tidak?.

Namun, akan tidak ada gunanya menyalakan lilin, bila tidak pernah bertanya mengapa rumah ini selalu gelap gulita. Mungkin awalnya terang, tetapi setelah habis terbakar akan kembali gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun