Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kisah Seindah Berlian

21 Oktober 2024   11:11 Diperbarui: 23 Oktober 2024   08:24 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bias jingga terukir begitu menawan persis di ujung cakrawala
Dalam remang cahaya yang sangat lembut memesona
Berpadu harmoni mencipta rasa hangat nan istimewa
Tampak sepasang suami istri duduk berdampingan menatap langit senja
Dengan menikmati secangkir cappucino hangat di jemari tangan mereka
Yang tanpa mereka sadari…
Siluetnya telah menyempurnakan indahnya panorama swastamita

Keduanya menatap laut yang membentang
Dengan pikiran menerawang tanpa batas
Menyatukan cerita tentang perjalanan yang pernah dilalui bersama
Seperti film yang diputar tanpa jeda iklan
Satu per satu peristiwa seolah nyata di dalam angan
Dan tampak camar mengepakkan sayap di antara desiran angin
Turut menyimak cerita yang belum usai dikisahkan

Seperti melampaui tujuh benua dan tujuh samudra
Seperti terbang menjelajah galaksi di angkasa luar tanpa batas
Dan kembali ke bumi dalam keadaan selamat
Dengan membawa cara pandang baru tentang hidup dan kehidupan
Kemudian bersama-sama menikmati lagi secangkir cappucino hangat
Yang di setiap tegukannya seperti membuka jalan bagi cahaya
Yang membuat hari-hari mereka selalu menyenangkan

Demikianlah sinopsis cerita ini…
Yang dituang dari mimpi secangkir cappucino hangat
Menjadi sebentuk puisi bebas dan panjang
Yang digubah Sang Pujangga berjubah putih...
Dengan menorehkan tinta pada lembaran putih buku kehidupan
Menghamparkan kisah pernikahan seindah berlian...

Kisah bermula dari Muara Padang
Saat hujan turun sangat lebat hari itu
Terlihat seorang pemuda muncul dari balik hujan
Melangkah dengan mantap menembus keheningan
Kemudian tampak seorang gadis cantik dengan rambut lebat
Yang menanti dengan harap-harap cemas…
Akankah payung itu diberikan kepadanya?
Ataukah mungkin kepada gadis lain?
Yang juga menaruh hati kepada Sang Pemuda?

Adegan romantis kemudian terjadi secepat kedipan mata…
Ketika payung akhirnya diserahkan
Kepada gadis cantik dengan rambut lebat  itu
Sorak sorai yang menyaksikan pun tak dapat diredam
Semua turut larut dalam gembira
Melihat benih-benih cinta tumbuh pada taman hati keduanya
Dan kisah ini, tentu akan terus membayang dalam ingatan
Meski Gedung Pancasila tempat first date mereka, telah menghilang ditelan ombak…
 
Janji pernikahan akhirnya diucapkan dengan lantang
Pada 2 Januari 1965 di depan Altar
Disaksikan oleh seluruh yang hadir di Gereja
Sang Pemuda dan Sang Gadis bersatu dalam pernikahan
Untuk saling mencintai dalam untung dan malang
Untuk saling mencintai dan menghormati sepanjang hayat

Janji telah diucapkan dan harapan telah diamini
Jika hidup perkawinan bagaikan bahtera di luasnya samudra…
Mampukah pasangan ini berlayar mengarunginya?
Dengan tetap bergandengan tangan di dalam suka dan duka?
Cinta memang menyenangkan namun tidak mengenyangkan
Begitu menurut pasangan ini, setelah melewati gelombang demi gelombang kehidupan

Ternyata tidak cukup hanya saling mencintai
Untuk menjalankan biduk pernikahan di luasnya samudra
Banyak kebutuhan bersama mesti dipenuhi, baik lahir maupun batin
Belum lagi menerima perbedaan karakter, hobi, gaya bicara dan masih banyak lagi…
Haruskah masa honeymoon langsung berakhir?
Saat badai kehidupan tiba-tiba menyapa tanpa permisi?
Apakah kesabaran, kesadaran dan juga ketulusan masih akan terjaga dengan baik?
Saat sampai pada titik nadir dalam kehidupan?

Akhirnya Berpetualang ke Kota Medan
Disebabkan kondisi keuangan yang tidak memadai di awal pernikahan
Membuat honeymoon di Bukittinggi hanya berlangsung tiga hari saja
Kota Medan pun menjadi pilihan mereka untuk mengubah keadaan
Berharap menjadi pedagang sukses dalam waktu singkat
Tetapi mimpi dan angan-angan indah itu berujung kandas, dalam waktu yang singkat pula
Karena tidak berpengalaman dalam hal berdagang

Bagai daun di musim gugur yang rapuh
Jatuh begitu saja tanpa memberikan pesan apa pun
Semua modal habis dan utang menumpuk
Wajar bila putus asa mulai memperkenalkan dirinya
Namun Sang Istri tetap menunjukkan kesetiaannya
Memungut daun yang jatuh…
Dan mendekapnya dengan sepenuh hatinya

Semua perhiasan yang melekat kemudian dilepaskan
Untuk membayar utang meski tidak semuanya terbayar
Kesetiaan, kesabaran, kesadaran dan ketulusan memang dipertaruhkan
Namun, terpuruk dalam kegagalan ternyata tak membuat Sang Istri berpaling…
Angin pun dapat mendengar suara lirih Sang Istri berbisik…
"Koko, Koko adalah satu-satunya laki-laki yang Lin cintai dalam hidup ini. Sejak dulu, kini, dan selamanya. " 

Mendengar itu, embun pagi pun bergegas datang…
Menyelipkan butiran-butiran harapan indah
Kala pasangan ini kemudian bekerja di Pabrik Karet
Dengan senyum terkembang pada langit yang tampak mulai cerah
Untuk membangkitkan semangat dan kembali membangun mimpi mereka
Tetapi, keadaan ternyata tetap saja tidak membaik seperti harapan mereka
Meski sudah bekerja dengan sangat keras

Angin pun tak akan percaya...
Kicau burung di hutan benar-benar tak lagi terdengar merdu
Saat malaria menyerang dan hampir merenggut nyawa Sang Suami
Yang pada saat di ambang kematian itu
Lagi-lagi angin mendengar bisikan lembut Sang Istri…
" Koko sayang, Lin tidak akan mampu hidup tanpa Koko…"
Puji Tuhan keadaan ini akhirnya terlewati…

Embun pagi masih menyerukan impian indah
Dalam butiran-butiran asa beserta segala misterinya
Dan sebelum embun menguap dari ujung rumput
Pasangan ini pun telah menggenggam sebuah keputusan
Kampung halaman adalah tempat pulang
Untuk kembali ke titik awal dan menentukan langkah selanjutnya
Tak masalah menebalkan kulit muka
Menahan malu pada teman dan juga kerabat
Karena gagal hidup di perantauan

Mereka akhirnya menyadari
Kemiskinan, sakit, penderitaan dan kegagalan bukanlah akhir dari segalanya
Semua itu dapat dijadikan landasan meraih pencerahan
Untuk lebih mengerti dan memahami
Tentang arti hidup dan kehidupan yang sesungguhnya
Maka, Pasar Tanah Kongsi pun menjadi destinasi berikutnya
Untuk menitipkan mimpi beserta segala fantasi indahnya
Dengan bekerja keras, berdoa, bertahan dan juga bersabar

Siapa sangka badai kehidupan masih terus menyapa pasangan ini
Saat menjadi guru sekaligus penjual kelapa parut
Dengan keadaan kedai yang sangat memprihatinkan
Berada di atas selokan yang aliran airnya bermuara ke Sungai Batang Arau
Membuat malam-malam menjadi terasa mencekam tiap kali banjir datang
Dan harus mengungsi ke atas loteng dengan hati-hati
Karena loteng yang mereka maksud
Adalah plafon rumah yang sungguh ringkih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun